Total Tayangan Halaman

tissa zone

.

ღ٩(●̮̮̃•̃)۶ღ

Jumat, 24 Desember 2010

laporan produksi ternak perah

BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang membutuhkan perhatian berlebih dibanding ternak ruminansia lainnya untuk mampu mendapatkan susu dengan kualitas baik. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi perah yaitu fisiologi ternak, perkandangan dan pengamatan iklim. Judging atau penilaian perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas ternak yang baik. Sapi perah yang berkualitas baik akan memproduksi susu dan lemak susu yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik pula.
Tujuan pelaksanaan praktikum adalah untuk mengetahui kondisi fisiologis ternak, fisiologis lingkungan, perkandangan, anatomi ambing dan judging sapi perah. Manfaat pelaksanaan praktikum ini adalah agar praktikan lebih memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi ternak perah.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologis Ternak
2.1.1. Frekuensi Nafas
Frekuensi pernafasan dihitung dari jumlah hembusan nafas yang keluar dari hidung sapi dalam tiap menit. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit (Akoso, 1996). Gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakhea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf (Frandson, 1992).

2.1.2. Denyut Nadi
Denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit yang dapat didengarkan langsung dari jantung (Akoso, 1996). Pemeriksaan pulsus pada sapi dapat dipalpasi pada arteria maxillaris external dengan jari dan gerakan ke muka dan ke belakang) atau coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor, pada sapi diperoleh data denyut nadi yaitu 54-84 kali permenit (Frandson, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan (Williamson dan Payne, 1993).
2.1.3. Suhu Rektal

Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37 – 39 oC (Williamson dan Payne, 1993). Pada temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan (Parakkasi, 1995).

2.1.4. Defekasi
Defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam (Frandson, 1996). Hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar (Blakely dan Bade, 1994).

2.1.5. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1994). Air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urine yang dikeluarkan oleh seekor sapi (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.6. Laying
Sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit (Delaval, 2007). Tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh ternak (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.7. Ruminasi
Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari (Frandson, 1996). Tingkah laku ruminasi ditandai apabila ternak menggerak-gerakkan mulutnya, dimana mengunyah atau menggerakkan mulut merupakan suatu bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari (Haryanto, 2000).
2.2. Fisiologis Lingkungan
2.2.1. Suhu
Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah dingin adalah 10 oC, daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2oC (Williamson dan Payne, 1993). Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak (Parakkasi, 1995).

2.2.2. Kelembaban
Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak, kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Di wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60% (Parakkasi, 1995). Panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit (Williamson dan Payne, 1993).

2.2.3. Radiasi
Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman (Williamson dan Payne, 1993). Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui (Ratna, 2010).
2.3. Perkandangan
2.3.1. Atap
Atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi (AAK, 1995). Prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari (Syarief, 1990).

2.3.2. Lantai
Lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak uda terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm) (Syarief, 1990). Panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencegah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain (Prihadi, 1996).

2.3.3. Dinding
Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka, sehingga udara bebas mudah keluar masuk (Prihadi, 1996). Pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat. Tinggi kandang dari lantai sekitar 125-150 cm (Syarief, 1990).

2.3.4. Tempat Pakan
Ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan (Syarief, 1990). Bak makan dan minum terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular (Prihadi, 1996).

2.3.5. Selokan
Selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm (Prihadi, 1996). Ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudakan sanitasi, kencing dan air tidak muda tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam aka membahayaan sapi (Syarief, 1990).

2.3.6. Kamar Susu
Suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran (Syarief, 1990). Persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Konstruksi kamar susu hendaknya sedemikian rupa sehingga keadaan di dalamnya selalu tenang (Prihadi, 1996).

2.4. Anatomi Ambing
2.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat kapasitasnya (Mukhtar, 2006). Ukuran dan bentuk kelenjar susu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan produksi, umur ternak, dan faktor genetik yang diturunkan oleh induk ternak tersebut (Prihadi, 1991). Setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron. Efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesterone menstimulus perkembangan lobulus (Lestari, 2006).

2.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain (Blakely dan Bade, 1994). Ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis (Mukhtar, 2006).

2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau penilaian sapi perah menyangkut pengamatan untuk menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah dan fungsi produksinya seekor sapi dengan karakteristik yang baik akan menampilkan produksi susu dan lemak susu untuk jangka waktu yang panjang (Blakely dan Bade, 1994). Ternak yang sehat dapat dipilih dengan melakukan penilaian melalui pandangan dari samping, belakang, dan depan atas ternak tersebut, untuk mengetahui bahwa ternak dalam kondisi sehat, maka perlu perlu diketahui karakteristik ternak yang sehat. Karakteristik tersebut meliputi, keadaan mata dan kulitnya normal, pergerakannya tidak kaku, tingkah laku dan nafsu makan normal, pengeluaran kotoran dan urine tidak sulit, tidak ada gangguan dalam berjalan dan berdiri, serta memiliki respirasi dan sirkulasi darah yang normal (Munif, 2008).
Memilih ternak berdasarkan visual berarti kita memilih ternak berdasarkan sifat-sifat yang tampak. Dalam cara ini memilih bibit hampir sama dengan seleksi untuk tujuan produksi. Seleksi berdasarkan visual ini biasa disebut dengan judging. Judging pada ternak dalam arti yang luas adalah usaha yang dilakukan untuk menilai tingkatan ternak yang memiliki karakteristik penting untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan dalam arti sempit adalah referensi untuk pemberian penghargaan tertentu dalam suatu kontes (Kartasudjana dan Santosa, 2001). Kapasitas badan diperhatikan dalam ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar. Sistem mamae harus besar, melekat dengan mantap sehingga dapat bertahan lama waktu diperah. Ambingnya besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak disamping besarnya penampungan susu. Pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar (Blakely dan Bade, 1994). Penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi aspek general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100 (Prihadi, 1996).



BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan pada hari Minggu sampai hari Senin tanggal 21-22 November 2010 pukul 05.30 sampai 05.30 WIB hari berikutnya di kandang sapi perah Laboratorium Ilmu Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi
Peralatan yang dibutuhkan adalah ember untuk menampung feses, timbangan untuk menimbang feses, termometer untuk mengukur suhu lingkungan, hygrometer untuk mengukur kelembaban lingkungan, sekop untuk mengambil feses, gelas ukur untuk mengukur urine yang dikeluarkan sapi, sapu untuk membersihkan kandang, termometer rektal untuk mengukur suhu tubuh sapi, black globe untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, sabit untuk mengambil rumput, penggaris dan alat tulis. Bahan yang diperlukan dalam praktikum ternak perah adalah sapi perah, pakan berupa rumput segar dan kandang.


3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi Ternak
3.2.1.1. Suhu Rektal. Mengukur suhu rektal dengan memasukkan termometer ke dalam rektal ternak selama satu menit dan kemudin melihat skala yang ada pada termometer tersebut kemudian mencatatnya. Melakukan pengukuran suhu rektal pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.2. Frekuensi Nafas. Melakukan pengukuran frekuensi nafas dengan meletakkan tangan didepan hidung ternak dan menghitung banyaknya nafas dalam satu menit. Melakukan pengukuran frekuensi nafas pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.3. Denyut Nadi. Mengukur denyut nadi dengan memegang dan menekan pangkal ekor ternak sampai terasa denyut nadinya, kemudian menghitung banyaknya denyut nadi tersebut selama satu menit. Melakukan pengukuran denyut nadi pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB

3.2.2. Fisiologi Lingkungan
3.2.2.1. Suhu Lingkungan. Melakukan pengamatan suhu lingkungan baik mikro dalam kandang dan mikro luar kandang dengan cara membaca skala yang terlihat pada termometer. Melakukan pengukuran suhu mikro dalam kandang dengan menempatkan termometer di dalam kandang. Sedangkan melakukan pengukuran suhu mikro luar kandang dengan menempatkan termometer diluar kandang. Mengukur suhu baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.2. Kelembaban. Melakukan pengamatan kelembaban dengan cara dengan membaca skala yang ada pada higrometer, yaitu dengan membaca dry bulb temperatur pada kolom paling kiri dan hasil perhitungan selisih dry bulb temperatur, wet bulb temperature pada baris paling atas, kemudian mengurutkan antara hasil pembacaan tersebut akan mendapatkan nilai kelembaban relatif. Mengukur kelembaban baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.3. Radiasi. Melakukan pengamatan radiasi dengan dengan mengukur temperatur benda hitam dan menghitungnya ke dalam rumus Stefan Boltzman. Mengukur radiasi baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.3. Perkandangan
Melakukan pengamatan perkandangan dengan mengukur kandang dan menggambarnya. Mengamati dan mencatat kandang sapi perah secara umum, selokan, tempat pakan, petak kandang, kamar susu, gudang penyimpanan ransum, tempat pengambilan air, tempat air minum, ventilasi kandang dan denah kandang.


3.2.4. Anatomi Ambing
Pengamatan anatomi ambing yaitu dengan mengamati awetan ambing sapi dara dan sapi laktasi, kemudian mengukur panjang puting depan dan belakang bagian kanan maupun kiri, jarak antar puting depan dan antar puting belakang, jarak antar puting depan dengan belakang baik kanan maupun kiri, panjang diagonal, panjang ligamentum suspensorium medialis dan panjang ligamentum suspensorium lateralis serta panjang fine membrane.

3.2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau melakukan penilaian dengan mengamati general appearance, dairi character, body capacity dan mammary system dari sapi perah. General appearance meliputi sifat kebetinaan, bahu punggung, kemudi, pangkal ekor, ekor, kaki depan, kaki belakang dan teracak. Dairi character meliputi bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut. Body capacity meliputi ukuran badan, perut, dalam dada, lebar dada dan lingkar dada. Mammary system meliputi ukuran dan konsisten ambing baik ambing depan, ambin belakang, puting susu maupun vena dan kemudian memberikan score pada masing-masing aspek.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Ternak
4.1.1. Frekuensi Nafas
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi nafas pada sapi 3 adalah sebesar 25 kali per menit, sapi 7 sebesar 27 kali per menit, sapi 8 sebesar 23 kali per menit, sapi 9 sebesar 19 kali per menit dan sapi 10 sebesar 19 kali per menit. Rata-rata frekuensi nafas pada sapi tersebut berkisar antara 19-27 kali per menit dan sesuai dengan batas standar normal. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Ditambahkan oleh Frandson (1992), gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf.


4.1.2. Denyut Nadi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata denyut nadi pada sapi 3 adalah sebesar 68 kali per menit , sapi 7 sebesar 68 kali per menit, sapi 8 sebesar 68 kali per menit, sapi 9 sebesar 69 kali per menit dan sapi 10 sebesar 70 kali per menit. Rata-rata denyut nadi pada sapi tersebut berkisar antara 68-70 kali per menit dan berada di atas batas standar normal. Faktor–faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban baik mikro dalam maupun luar kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan.

4.1.3. Suhu Rektal

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh sapi 3 adalah sebesar 38,3 oC, sapi 7 sebesar 38,3 oC, sapi 8 sebesar 38,3 oC, sapi 9 sebesar 38 oC dan sapi 10 sebesar 38,15 oC. Rata-rata suhu pada sapi tersebut berkisar antara 38 oC-38,3 oC dan berada dalam kisaran standar suhu normal. Temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37-39 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), bila temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan.

4.1.4. Defekasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui berat rata-rata defekasi dalam satu hari sebesar 1033,33 gram, sapi 7 sebesar 450 gram, sapi 8 sebesar 625 gram, sapi 9 sebesar 1100 gram dan sapi 10 sebesar 966,67 gram. Defekasi merupakan proses pengeluaran sisa metabolisme, banyak sedikitnya feses yang dikeluarkan tergantung konsumsi pakan. Rata-rata defekasi sapi tersebut berkisar antara 2-4 kali selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar rata-rata sapi perah yang normal, dikarenakan pakan yang diberikan sangat kurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar.


4.1.5. Urinasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui volume rata-rata urinasi dalam satu hari sebesar 1,467 liter, sapi 7 sebesar 1,4 liter, sapi 8 sebesar 1,62 liter, sapi 9 sebesar 1,233 liter dan sapi 10 sebesar 1,35 liter. Rata-rata urinasi sapi tersebut berkisar antara 1,233-1,62 liter selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar urinasi rata-rata sapi perah yang normal. Urine merupakan sisa-sisa metabolisme, banyak sedikitnya urine yang dikeluarkan tergantung air minum yang dikonsumsi. Sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang dikeluarkan oleh seekor sapi. Standar urinasi normal pada sapi perah sebesar 6-12 liter selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urin di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma.



4.1.6. Laying
Berdasarkan pengamatan, didapatkan rata-rata laying pada sapi 3 sebesar 44 menit, sapi 7 sebesar 52 menit, sapi 8 sebesar 92 menit, sapi 9 sebesar 63 menit dan sapi 10 sebesar 100 menit. Laying merupakan salah satu tingkah laku ternak untuk menghilangkan panas secara konduksi. Rata-rata laying pada sapi tersebut antara 44-100 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar normal laying sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Delaval (2007) yang menyatakan bahwa sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh.

4.1.7. Ruminasi
Berdasarkan hasil pengamatan ruminasi pada sapi 3 sebesar 26 menit, sapi 7 sebesar 19 menit, sapi 8 sebesar 26 menit, sapi 9 sebesar 21 menit dan sapi 10 sebesar 21 menit. Rata-rata ruminasi pada sapi tersebut antara 19-21 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar ruminasi sapi normal yang umumnya sekitar 8 jam. Ruminasi merupakan pengunyahan kembali pakan yang belum tercerna secara sempurna didalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari. Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Ditambahkan oleh Haryanto (2000), tingkah laku ruminasi ditandai ternak menggerak-gerakkan mulutnya dan merupakan bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari.

4.2. Fisiologi Lingkungan
4.2.1. Suhu
Berdasarkan hasil penghitungan fisiologi lingkungan didapatkan data rata-rata suhu mikroklimat dalam kandang dan mikroklimat luar kandang sebesar 28,6oC dan 27,25 oC. Kisaran suhu lingkungan kandang tersebut termasuk dalam standar normal. Suhu lingkungan baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang mempunyai pengaruh terhadap pengambilan air dan aklimatisasi ternak. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak.

4.2.2. Kelembaban
Kelembaban lingkungan rata-rata pada lingkungan dalam kandang (mikro) adalah sebesar 77,5% dan luar kandang (makro) sebesar 77,75%. Angka tersebut menunjukkan lingkungan kandang berada dalam keadaan normal dan tidak ekstrim. Kelembaban mempengaruhi temperatur tubuh. Kelembaban normal ditandai dengan tingkah laku ternak yang terlihat nyaman untuk melakukan aktifitas hidup pokok. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa pada wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60%. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak dan menurunkan sensasi lapar. Kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh ternak dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit.

4.2.3. Radiasi
Radiasi matahari rata-rata mikroklimat dan makroklimat kandang sebesar 244,18 dan 239,64. Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman. Ditambahkan oleh Ratna (2010), radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui
4.3. Perkandangan
4.3.1. Atap
Berdasarkan evaluasi perkandangan sapi perah, atap kandang terbuat dari asbes dan sudah cukup untuk melindungi ternak dari hujan dan radiasi matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat AAK (1995) yang menyatakan bahwa atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi. Menurut Syarief (1990), prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari.

4.3.2. Lantai
Kandang sapi perah kemiringan lantai sudah cukup baik untuk membantu sanitasi. Kemiringan lantai pada kandang tersebut kurang lebih 5o, akan tetapi lantainya terlalu licin sehingga memungkinkan ternak terpeleset jatuh dan terluka. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak mudah terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm). Konstruksi lantai kandang dibuat miring dengan tingkat kemiringan 5-10o. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencengah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain.

4.3.3. Dinding
Konstruksi dinding pada kandang sapi perah terlalu tinggi untuk daerah panas, sehingga radiasi matahari yang masuk ke kandang kurang dan sirkulasi udara juga kurang. Ukuran panjang dinding sebesar 12,6 m dan lebar 8,28 m. Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) yang menyatakan bahwa pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Ditambahkan oleh Syarief (1990), pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat.

4.3.4. Tempat Pakan
Tempat pakan pada kandang sapi perah terlalu dalam sehingga ternak sulit untuk mengambil pakan dan memungkinkan leher ternak terluka. Ukuran tempat pakan yaitu panjang 125 cm, lebar 40 cm dan terdapat 12 petak tempat pakan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan. Ditambahkan pula oleh Prihadi (1996), bak makan dan minum satu dengan lainnya terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular

4.3.5. Selokan
Ukuran panjang selokan dalam sebesar 9,5 m, lebar 25 cm dan dalam 10 cm. Sedangkan ukuran selokan luar yaitu panjang 3,35 m, lebar 30 cm dan dalam 32 cm. Selokan yang berada di dalam maupun di luar kandang sudah cukup lebar sehingga air kencing maupun kotoran yang ada dapat mudah dibersihkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudahkan sanitasi, kencing dan air tidak mudah tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam akan membahayakan sapi. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm.

4.3.6. Kamar Susu
Berdasarkan pengamatan kamar susu dikandang sapi perah, diketahui luas kamar susu sebesar 11,5 m2 dan jarak dengan penampungan feses 8,74 m. Kamar susu pada kandang sapi perah terlalu dekat dengan kandang dan tempat pembuangan feses, sehingga susu dapat terkontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996), persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Ditambahkan oleh Syarief (1990), suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran.

4.4. Anatomi ambing
Berdasarkan pengamatan pada ambing baik ambing sapi dara maupun sapi laktasi, dapat diketahui bahwa ambing sapi memiliki empat kuartir yang masing-masing kuartir tidak saling berhubungan. Ukuran ambing bagian depan lebih kecil dari pada ukuran ambing bagian belakang. Terdapat sekat pemisah antar ambing bagian kiri dan kanan maupun ambing bagian depan dengan belakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi dara, dapat diketahui bahwa ambing dara merupakan bantalan lemak tanpa pembuluh dan belum berkembang menjadi penghasil susu, karena sapi dara belum memiliki hormon yang diperlukan untuk menghasilkan susu sesuai dengan pendapat Lestari (2006) bahwa setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron, efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesteron menstimulus perkembangan lobulus. Ambing sapi dara akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pedapat Mukhtar (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat, demikian pula kapasitasnya.

4.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi laktasi dapat diketahui bahwa ambing sapi laktasi memiliki empat kuartir, dua kuartir bagian depan lebih kecil dari pada dua kuartir bagian belakang. Ambing sapi bagian luar berupa kulit dan ambing sapi bagian dalam dipisahkan oleh sekat tebal berupa ligamentum suspensorium medialis (sekat pemisah ambing bagian kanan dan kiri). Bagian ambing depan dan belakang dipisahkan oleh selaput tipis (fine membrane). Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.5. Judging Sapi Perah
Berdasarkan hasil pengamatan judging atau penilaian sapi perah, didapatkan hasil judging pada sapi 3 sebesar 72, sapi 7 sebesar 54, sapi 8 sebesar 68, sapi 9 sebesar 67 dan sapi 10 sebesar 71. Sapi tersebut termasuk sapi yang memiliki skor judging dibawah standar. Rata-rata kondisi permukaan kulit kasar, bahu punggung dan pangkal ekor nampak jelas terlihat karena tidak terdapat daging yang tumbuh di sekelilingnya. Ukuran perut nampak besar yang kemungkinan cacingan dan ambing berukuran kecil karena sudah tidak memproduksi susu lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) bahwa penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa sapi perah yang baik adalah yang memiliki ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar, ambing besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak di samping besarnya penampungan susu, pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar.

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa kondisi fisiologis yang berupa suhu dan frekuensi nafas normal, akan tetapi denyut nadi ternak, defekasi, urinasi, laying dan ruminasi tidak normal. Fisiologis lingkungan normal dan kondisi perkandangan tidak sesuai dengan syarat perkandangan yang baik. Anatomi ambing pada sapi dara masih berupa bantalan lemak sedangkan pada sapi laktasi sudah terbentuk saluran-saluran dengan sempurna. Hasil penilaian atau judging menunjukkan kondisi sapi tidak memenuhi standar penilaian universal. Faktor yang mempengaruhi kualitas dari sapi perah yaitu bangsa, pakan dan manajemen yang baik.

5.2. Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, sebaiknya kandang dibangun lebih terbuka agar ventilasi dan radiasi matahari dapat leluasa masuk. Jarak kamar susu dengan kandang maupun tempat pembuangan feses dijauhkan agar tidak terkontaminasi, ditambah karpet sebagai alas untuk sapi perah agar tidak licin dan mudah dibersihkan.



DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely, J. dan Bade, H. D. 1994. Ilmu Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Delaval. 2007. (dalam artikel Woro Sri P. Cow Comfort, Memang Penting? pada vet-indo.com diakses pada 30 November 2010 pukul 15.00 WIB)

Haryanto, B. 2000. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.

Kartasudjana, R. dan Santosa, U. 2001. Pemilihan Bibit. WordPress.

Lestari, T D. 2006. Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Mukhtar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS Press, Srakarta.
Munif. 2008. Memilih Ternak Sehat. Multiply, Indonesia. (http://sapiology.com).
(diakses pada 9 Desember 2010 pada pukul 17.05)

Prihadi, S. 1996. Tatalaksana dan Produksi Ternak Perah. Wangsamanggala University Press, Yogyakarta.

Ratna, dkk. 2010. Pengaruh Radiasi pada Makhluk Hidup. www.chem-is-try.org (diakses pada 30 November 2010 pada pukul 15.10)

Syarief, M. Z. dan Sumoprastowo. 1990. Ternak Perah. CV Yasaguna, Jakarta.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.



LAMPIRAN

Lampiran 1. Fisiologis Lingkungan
Tabel 1. Pengamatan Fisiologis Lingkungan
Waktu Suhu ( )
Kelembaban (%) Radiasi (Kcal m-2 jam-1)
Mikro Makro Mikro Makro Mikro Makro
06.00 27 26 94 92 238,16 234,57
12.00 31,5 36 48 86 254,82 272,34
18.00 30 25 78 84 249,17 231,02
24.00 26 22 90 49 234,57 220,62
Rata-rata 28,6 27,25 77,5 77,75 244,18 239,64
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

R = δ T4
T = 237 + oC
δ = 4,903 x 10-8

Radiasi pada pukul 06.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 27 oC T = 237 + 26 oC
= 264 oK = 263 oK
R = 4,903 x 10-8 (264)4 R = 4,903 x 10-8 (263)4
= 238,16 Kcal m-2 jam-1 = 234,57 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 12.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 31,5 oC T = 237 + 36 oC
= 268,5 oK = 273 oK
R = 4,903 x 10-8 (268,5)4 R = 4,903 x 10-8 (273)4
= 254,82 Kcal m-2 jam-1 = 272,34 Kcal m-2 jam-1

Radiasi pada pukul 18.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 30 oC T = 237 + 25 oC
= 267 oK = 262 oK
R = 4,903 x 10-8 (267)4 R = 4,903 x 10-8 (262)4
= 249,17 Kcal m-2 jam-1 = 231,02 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 24.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 26 oC T = 237 + 22 oC
= 263 oK = 259 oK
R = 4,903 x 10-8 (263)4 R = 4,903 x 10-8 (259)4
= 234,57 Kcal m-2 jam-1 = 220,62 Kcal m-2 jam-1

Lampiran 2. Fisiologis Ternak
Tabel 2. Pengamatan Fisiologis Ternak
Sapi Waktu Suhu Rektal
( )
Frekuensi Nafas (kali/menit) Denyut Nadi (kali/menit)

3 06.00 38 32 70
12.00 38,5 36 71
18.00 38,5 14 65
24.00 38,2 19 66
Rata-rata 38,3 26 68
7 06.00 38 23 70
12.00 38,5 27 70
18.00 38,3 19 67
24.00 38,4 19 68
Rata-rata 38,3 22 69
8 06.00 38 23 70
12.00 38,7 28 71
18.00 38,4 22 66
24.00 38,3 19 67
Rata-rata 38,3 23 69
9 06.00 37,8 17 72
12.00 38,2 23 72
18.00 38,3 17 67
24.00 38 20 67
Rat-rata 38,3 19 70
10 06.00 37,8 18 73
12.00 38,3 23 72
18.00 38,4 18 68
24.00 38,1 18 66
Rata-rata 38,1 19 70
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.



Lampiran 3. Tingkah Laku Ternak
Tabel 3. Defekasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (gram) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1033,33 3
7 450 2
8 625 4
9 1100 3
10 966,67 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 4. Urinasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (liter) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1,467 3
7 1,4 2
8 1,62 5
9 1,233 3
10 1,35 6
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 5. Laying
Sapi No Rata-rata lama laying (menit) Banyaknya laying (kali)
3 44 7
7 52 4
8 92 6
9 63 5
10 100 4
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 6. Ruminasi
Sapi No Rata-rata lama ruminasi (menit) Banyaknya laying (kali)
3 26 5
7 19 4
8 26 4
9 21 4
10 21 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

Lampiran 4. Judging Sapi Perah
Tabel 7. Hasil Penilaian Judging Sapi Perah
Dasar Penelitian Standar 3 7 8 9 10
I.General Appearance
a. Sifat Kebetinaan
b. Bahu punggung, kemudi, pangkal ekor dan ekor
c. kaki depan, kaki belakang dan teracak 30

10

10


10

10

5


10



10

8


6

10

5


10



10

7


8



7

6


7


II. Dairy Character
Bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut 20

20

10



10


10



16

10
III. Body Capacity
a.Ukuran Badan dan perut
b. Dada (dalam, lebar dan lingkar) 20
10

10
5

5
5

6
10

10

6

6

6

6

IV. Mammary System
a.Ambing (ukuran dan konsisten)
b.Ambing depan
c.Ambing belakang
d.Puting susu
e.Vena 30

10

6

7

5
2

10

5

6

5
1

2

2

2

2
1

8

5

5

4
1

7

4

4

3
1

2

2

2

3
1
Total 100 72 54 68 71 52
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.


Lampiran 5. Evaluasi Perkandangan
Berdasarkan hasil praktikum Produksi Ternak Perah, diperoleh data sebagai berikut:







Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak Depan












Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Ilustrasi 2. Kandang Tampak Belakang










Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 3. Kandang Tampak Atas

Lampiran 6. Anatomi Ambing
Anatomi Ambing Sapi Dara













Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 4. Anatomi Ambing Sapi Dara
Anatomi Ambing Sapi Laktasi








Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 5. Anatomi Ambing Sapi Laktasi




Lampiran 6. Anatomi Ambing (Lanjutan)

Sumber: Data Primer Prak

Ilustrasi 6. Anatomi Ambing Bagian Dalam








BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang membutuhkan perhatian berlebih dibanding ternak ruminansia lainnya untuk mampu mendapatkan susu dengan kualitas baik. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi perah yaitu fisiologi ternak, perkandangan dan pengamatan iklim. Judging atau penilaian perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas ternak yang baik. Sapi perah yang berkualitas baik akan memproduksi susu dan lemak susu yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik pula.
Tujuan pelaksanaan praktikum adalah untuk mengetahui kondisi fisiologis ternak, fisiologis lingkungan, perkandangan, anatomi ambing dan judging sapi perah. Manfaat pelaksanaan praktikum ini adalah agar praktikan lebih memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi ternak perah.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologis Ternak
2.1.1. Frekuensi Nafas
Frekuensi pernafasan dihitung dari jumlah hembusan nafas yang keluar dari hidung sapi dalam tiap menit. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit (Akoso, 1996). Gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakhea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf (Frandson, 1992).

2.1.2. Denyut Nadi
Denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit yang dapat didengarkan langsung dari jantung (Akoso, 1996). Pemeriksaan pulsus pada sapi dapat dipalpasi pada arteria maxillaris external dengan jari dan gerakan ke muka dan ke belakang) atau coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor, pada sapi diperoleh data denyut nadi yaitu 54-84 kali permenit (Frandson, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan (Williamson dan Payne, 1993).
2.1.3. Suhu Rektal

Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37 – 39 oC (Williamson dan Payne, 1993). Pada temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan (Parakkasi, 1995).

2.1.4. Defekasi
Defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam (Frandson, 1996). Hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar (Blakely dan Bade, 1994).

2.1.5. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1994). Air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urine yang dikeluarkan oleh seekor sapi (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.6. Laying
Sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit (Delaval, 2007). Tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh ternak (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.7. Ruminasi
Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari (Frandson, 1996). Tingkah laku ruminasi ditandai apabila ternak menggerak-gerakkan mulutnya, dimana mengunyah atau menggerakkan mulut merupakan suatu bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari (Haryanto, 2000).
2.2. Fisiologis Lingkungan
2.2.1. Suhu
Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah dingin adalah 10 oC, daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2oC (Williamson dan Payne, 1993). Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak (Parakkasi, 1995).

2.2.2. Kelembaban
Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak, kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Di wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60% (Parakkasi, 1995). Panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit (Williamson dan Payne, 1993).

2.2.3. Radiasi
Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman (Williamson dan Payne, 1993). Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui (Ratna, 2010).
2.3. Perkandangan
2.3.1. Atap
Atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi (AAK, 1995). Prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari (Syarief, 1990).

2.3.2. Lantai
Lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak uda terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm) (Syarief, 1990). Panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencegah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain (Prihadi, 1996).

2.3.3. Dinding
Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka, sehingga udara bebas mudah keluar masuk (Prihadi, 1996). Pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat. Tinggi kandang dari lantai sekitar 125-150 cm (Syarief, 1990).

2.3.4. Tempat Pakan
Ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan (Syarief, 1990). Bak makan dan minum terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular (Prihadi, 1996).

2.3.5. Selokan
Selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm (Prihadi, 1996). Ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudakan sanitasi, kencing dan air tidak muda tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam aka membahayaan sapi (Syarief, 1990).

2.3.6. Kamar Susu
Suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran (Syarief, 1990). Persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Konstruksi kamar susu hendaknya sedemikian rupa sehingga keadaan di dalamnya selalu tenang (Prihadi, 1996).

2.4. Anatomi Ambing
2.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat kapasitasnya (Mukhtar, 2006). Ukuran dan bentuk kelenjar susu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan produksi, umur ternak, dan faktor genetik yang diturunkan oleh induk ternak tersebut (Prihadi, 1991). Setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron. Efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesterone menstimulus perkembangan lobulus (Lestari, 2006).

2.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain (Blakely dan Bade, 1994). Ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis (Mukhtar, 2006).

2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau penilaian sapi perah menyangkut pengamatan untuk menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah dan fungsi produksinya seekor sapi dengan karakteristik yang baik akan menampilkan produksi susu dan lemak susu untuk jangka waktu yang panjang (Blakely dan Bade, 1994). Ternak yang sehat dapat dipilih dengan melakukan penilaian melalui pandangan dari samping, belakang, dan depan atas ternak tersebut, untuk mengetahui bahwa ternak dalam kondisi sehat, maka perlu perlu diketahui karakteristik ternak yang sehat. Karakteristik tersebut meliputi, keadaan mata dan kulitnya normal, pergerakannya tidak kaku, tingkah laku dan nafsu makan normal, pengeluaran kotoran dan urine tidak sulit, tidak ada gangguan dalam berjalan dan berdiri, serta memiliki respirasi dan sirkulasi darah yang normal (Munif, 2008).
Memilih ternak berdasarkan visual berarti kita memilih ternak berdasarkan sifat-sifat yang tampak. Dalam cara ini memilih bibit hampir sama dengan seleksi untuk tujuan produksi. Seleksi berdasarkan visual ini biasa disebut dengan judging. Judging pada ternak dalam arti yang luas adalah usaha yang dilakukan untuk menilai tingkatan ternak yang memiliki karakteristik penting untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan dalam arti sempit adalah referensi untuk pemberian penghargaan tertentu dalam suatu kontes (Kartasudjana dan Santosa, 2001). Kapasitas badan diperhatikan dalam ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar. Sistem mamae harus besar, melekat dengan mantap sehingga dapat bertahan lama waktu diperah. Ambingnya besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak disamping besarnya penampungan susu. Pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar (Blakely dan Bade, 1994). Penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi aspek general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100 (Prihadi, 1996).



BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan pada hari Minggu sampai hari Senin tanggal 21-22 November 2010 pukul 05.30 sampai 05.30 WIB hari berikutnya di kandang sapi perah Laboratorium Ilmu Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi
Peralatan yang dibutuhkan adalah ember untuk menampung feses, timbangan untuk menimbang feses, termometer untuk mengukur suhu lingkungan, hygrometer untuk mengukur kelembaban lingkungan, sekop untuk mengambil feses, gelas ukur untuk mengukur urine yang dikeluarkan sapi, sapu untuk membersihkan kandang, termometer rektal untuk mengukur suhu tubuh sapi, black globe untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, sabit untuk mengambil rumput, penggaris dan alat tulis. Bahan yang diperlukan dalam praktikum ternak perah adalah sapi perah, pakan berupa rumput segar dan kandang.


3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi Ternak
3.2.1.1. Suhu Rektal. Mengukur suhu rektal dengan memasukkan termometer ke dalam rektal ternak selama satu menit dan kemudin melihat skala yang ada pada termometer tersebut kemudian mencatatnya. Melakukan pengukuran suhu rektal pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.2. Frekuensi Nafas. Melakukan pengukuran frekuensi nafas dengan meletakkan tangan didepan hidung ternak dan menghitung banyaknya nafas dalam satu menit. Melakukan pengukuran frekuensi nafas pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.3. Denyut Nadi. Mengukur denyut nadi dengan memegang dan menekan pangkal ekor ternak sampai terasa denyut nadinya, kemudian menghitung banyaknya denyut nadi tersebut selama satu menit. Melakukan pengukuran denyut nadi pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB

3.2.2. Fisiologi Lingkungan
3.2.2.1. Suhu Lingkungan. Melakukan pengamatan suhu lingkungan baik mikro dalam kandang dan mikro luar kandang dengan cara membaca skala yang terlihat pada termometer. Melakukan pengukuran suhu mikro dalam kandang dengan menempatkan termometer di dalam kandang. Sedangkan melakukan pengukuran suhu mikro luar kandang dengan menempatkan termometer diluar kandang. Mengukur suhu baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.2. Kelembaban. Melakukan pengamatan kelembaban dengan cara dengan membaca skala yang ada pada higrometer, yaitu dengan membaca dry bulb temperatur pada kolom paling kiri dan hasil perhitungan selisih dry bulb temperatur, wet bulb temperature pada baris paling atas, kemudian mengurutkan antara hasil pembacaan tersebut akan mendapatkan nilai kelembaban relatif. Mengukur kelembaban baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.3. Radiasi. Melakukan pengamatan radiasi dengan dengan mengukur temperatur benda hitam dan menghitungnya ke dalam rumus Stefan Boltzman. Mengukur radiasi baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.3. Perkandangan
Melakukan pengamatan perkandangan dengan mengukur kandang dan menggambarnya. Mengamati dan mencatat kandang sapi perah secara umum, selokan, tempat pakan, petak kandang, kamar susu, gudang penyimpanan ransum, tempat pengambilan air, tempat air minum, ventilasi kandang dan denah kandang.


3.2.4. Anatomi Ambing
Pengamatan anatomi ambing yaitu dengan mengamati awetan ambing sapi dara dan sapi laktasi, kemudian mengukur panjang puting depan dan belakang bagian kanan maupun kiri, jarak antar puting depan dan antar puting belakang, jarak antar puting depan dengan belakang baik kanan maupun kiri, panjang diagonal, panjang ligamentum suspensorium medialis dan panjang ligamentum suspensorium lateralis serta panjang fine membrane.

3.2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau melakukan penilaian dengan mengamati general appearance, dairi character, body capacity dan mammary system dari sapi perah. General appearance meliputi sifat kebetinaan, bahu punggung, kemudi, pangkal ekor, ekor, kaki depan, kaki belakang dan teracak. Dairi character meliputi bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut. Body capacity meliputi ukuran badan, perut, dalam dada, lebar dada dan lingkar dada. Mammary system meliputi ukuran dan konsisten ambing baik ambing depan, ambin belakang, puting susu maupun vena dan kemudian memberikan score pada masing-masing aspek.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Ternak
4.1.1. Frekuensi Nafas
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi nafas pada sapi 3 adalah sebesar 25 kali per menit, sapi 7 sebesar 27 kali per menit, sapi 8 sebesar 23 kali per menit, sapi 9 sebesar 19 kali per menit dan sapi 10 sebesar 19 kali per menit. Rata-rata frekuensi nafas pada sapi tersebut berkisar antara 19-27 kali per menit dan sesuai dengan batas standar normal. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Ditambahkan oleh Frandson (1992), gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf.


4.1.2. Denyut Nadi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata denyut nadi pada sapi 3 adalah sebesar 68 kali per menit , sapi 7 sebesar 68 kali per menit, sapi 8 sebesar 68 kali per menit, sapi 9 sebesar 69 kali per menit dan sapi 10 sebesar 70 kali per menit. Rata-rata denyut nadi pada sapi tersebut berkisar antara 68-70 kali per menit dan berada di atas batas standar normal. Faktor–faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban baik mikro dalam maupun luar kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan.

4.1.3. Suhu Rektal

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh sapi 3 adalah sebesar 38,3 oC, sapi 7 sebesar 38,3 oC, sapi 8 sebesar 38,3 oC, sapi 9 sebesar 38 oC dan sapi 10 sebesar 38,15 oC. Rata-rata suhu pada sapi tersebut berkisar antara 38 oC-38,3 oC dan berada dalam kisaran standar suhu normal. Temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37-39 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), bila temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan.

4.1.4. Defekasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui berat rata-rata defekasi dalam satu hari sebesar 1033,33 gram, sapi 7 sebesar 450 gram, sapi 8 sebesar 625 gram, sapi 9 sebesar 1100 gram dan sapi 10 sebesar 966,67 gram. Defekasi merupakan proses pengeluaran sisa metabolisme, banyak sedikitnya feses yang dikeluarkan tergantung konsumsi pakan. Rata-rata defekasi sapi tersebut berkisar antara 2-4 kali selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar rata-rata sapi perah yang normal, dikarenakan pakan yang diberikan sangat kurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar.


4.1.5. Urinasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui volume rata-rata urinasi dalam satu hari sebesar 1,467 liter, sapi 7 sebesar 1,4 liter, sapi 8 sebesar 1,62 liter, sapi 9 sebesar 1,233 liter dan sapi 10 sebesar 1,35 liter. Rata-rata urinasi sapi tersebut berkisar antara 1,233-1,62 liter selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar urinasi rata-rata sapi perah yang normal. Urine merupakan sisa-sisa metabolisme, banyak sedikitnya urine yang dikeluarkan tergantung air minum yang dikonsumsi. Sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang dikeluarkan oleh seekor sapi. Standar urinasi normal pada sapi perah sebesar 6-12 liter selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urin di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma.



4.1.6. Laying
Berdasarkan pengamatan, didapatkan rata-rata laying pada sapi 3 sebesar 44 menit, sapi 7 sebesar 52 menit, sapi 8 sebesar 92 menit, sapi 9 sebesar 63 menit dan sapi 10 sebesar 100 menit. Laying merupakan salah satu tingkah laku ternak untuk menghilangkan panas secara konduksi. Rata-rata laying pada sapi tersebut antara 44-100 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar normal laying sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Delaval (2007) yang menyatakan bahwa sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh.

4.1.7. Ruminasi
Berdasarkan hasil pengamatan ruminasi pada sapi 3 sebesar 26 menit, sapi 7 sebesar 19 menit, sapi 8 sebesar 26 menit, sapi 9 sebesar 21 menit dan sapi 10 sebesar 21 menit. Rata-rata ruminasi pada sapi tersebut antara 19-21 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar ruminasi sapi normal yang umumnya sekitar 8 jam. Ruminasi merupakan pengunyahan kembali pakan yang belum tercerna secara sempurna didalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari. Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Ditambahkan oleh Haryanto (2000), tingkah laku ruminasi ditandai ternak menggerak-gerakkan mulutnya dan merupakan bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari.

4.2. Fisiologi Lingkungan
4.2.1. Suhu
Berdasarkan hasil penghitungan fisiologi lingkungan didapatkan data rata-rata suhu mikroklimat dalam kandang dan mikroklimat luar kandang sebesar 28,6oC dan 27,25 oC. Kisaran suhu lingkungan kandang tersebut termasuk dalam standar normal. Suhu lingkungan baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang mempunyai pengaruh terhadap pengambilan air dan aklimatisasi ternak. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak.

4.2.2. Kelembaban
Kelembaban lingkungan rata-rata pada lingkungan dalam kandang (mikro) adalah sebesar 77,5% dan luar kandang (makro) sebesar 77,75%. Angka tersebut menunjukkan lingkungan kandang berada dalam keadaan normal dan tidak ekstrim. Kelembaban mempengaruhi temperatur tubuh. Kelembaban normal ditandai dengan tingkah laku ternak yang terlihat nyaman untuk melakukan aktifitas hidup pokok. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa pada wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60%. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak dan menurunkan sensasi lapar. Kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh ternak dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit.

4.2.3. Radiasi
Radiasi matahari rata-rata mikroklimat dan makroklimat kandang sebesar 244,18 dan 239,64. Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman. Ditambahkan oleh Ratna (2010), radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui
4.3. Perkandangan
4.3.1. Atap
Berdasarkan evaluasi perkandangan sapi perah, atap kandang terbuat dari asbes dan sudah cukup untuk melindungi ternak dari hujan dan radiasi matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat AAK (1995) yang menyatakan bahwa atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi. Menurut Syarief (1990), prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari.

4.3.2. Lantai
Kandang sapi perah kemiringan lantai sudah cukup baik untuk membantu sanitasi. Kemiringan lantai pada kandang tersebut kurang lebih 5o, akan tetapi lantainya terlalu licin sehingga memungkinkan ternak terpeleset jatuh dan terluka. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak mudah terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm). Konstruksi lantai kandang dibuat miring dengan tingkat kemiringan 5-10o. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencengah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain.

4.3.3. Dinding
Konstruksi dinding pada kandang sapi perah terlalu tinggi untuk daerah panas, sehingga radiasi matahari yang masuk ke kandang kurang dan sirkulasi udara juga kurang. Ukuran panjang dinding sebesar 12,6 m dan lebar 8,28 m. Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) yang menyatakan bahwa pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Ditambahkan oleh Syarief (1990), pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat.

4.3.4. Tempat Pakan
Tempat pakan pada kandang sapi perah terlalu dalam sehingga ternak sulit untuk mengambil pakan dan memungkinkan leher ternak terluka. Ukuran tempat pakan yaitu panjang 125 cm, lebar 40 cm dan terdapat 12 petak tempat pakan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan. Ditambahkan pula oleh Prihadi (1996), bak makan dan minum satu dengan lainnya terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular

4.3.5. Selokan
Ukuran panjang selokan dalam sebesar 9,5 m, lebar 25 cm dan dalam 10 cm. Sedangkan ukuran selokan luar yaitu panjang 3,35 m, lebar 30 cm dan dalam 32 cm. Selokan yang berada di dalam maupun di luar kandang sudah cukup lebar sehingga air kencing maupun kotoran yang ada dapat mudah dibersihkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudahkan sanitasi, kencing dan air tidak mudah tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam akan membahayakan sapi. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm.

4.3.6. Kamar Susu
Berdasarkan pengamatan kamar susu dikandang sapi perah, diketahui luas kamar susu sebesar 11,5 m2 dan jarak dengan penampungan feses 8,74 m. Kamar susu pada kandang sapi perah terlalu dekat dengan kandang dan tempat pembuangan feses, sehingga susu dapat terkontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996), persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Ditambahkan oleh Syarief (1990), suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran.

4.4. Anatomi ambing
Berdasarkan pengamatan pada ambing baik ambing sapi dara maupun sapi laktasi, dapat diketahui bahwa ambing sapi memiliki empat kuartir yang masing-masing kuartir tidak saling berhubungan. Ukuran ambing bagian depan lebih kecil dari pada ukuran ambing bagian belakang. Terdapat sekat pemisah antar ambing bagian kiri dan kanan maupun ambing bagian depan dengan belakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi dara, dapat diketahui bahwa ambing dara merupakan bantalan lemak tanpa pembuluh dan belum berkembang menjadi penghasil susu, karena sapi dara belum memiliki hormon yang diperlukan untuk menghasilkan susu sesuai dengan pendapat Lestari (2006) bahwa setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron, efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesteron menstimulus perkembangan lobulus. Ambing sapi dara akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pedapat Mukhtar (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat, demikian pula kapasitasnya.

4.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi laktasi dapat diketahui bahwa ambing sapi laktasi memiliki empat kuartir, dua kuartir bagian depan lebih kecil dari pada dua kuartir bagian belakang. Ambing sapi bagian luar berupa kulit dan ambing sapi bagian dalam dipisahkan oleh sekat tebal berupa ligamentum suspensorium medialis (sekat pemisah ambing bagian kanan dan kiri). Bagian ambing depan dan belakang dipisahkan oleh selaput tipis (fine membrane). Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.5. Judging Sapi Perah
Berdasarkan hasil pengamatan judging atau penilaian sapi perah, didapatkan hasil judging pada sapi 3 sebesar 72, sapi 7 sebesar 54, sapi 8 sebesar 68, sapi 9 sebesar 67 dan sapi 10 sebesar 71. Sapi tersebut termasuk sapi yang memiliki skor judging dibawah standar. Rata-rata kondisi permukaan kulit kasar, bahu punggung dan pangkal ekor nampak jelas terlihat karena tidak terdapat daging yang tumbuh di sekelilingnya. Ukuran perut nampak besar yang kemungkinan cacingan dan ambing berukuran kecil karena sudah tidak memproduksi susu lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) bahwa penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa sapi perah yang baik adalah yang memiliki ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar, ambing besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak di samping besarnya penampungan susu, pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar.

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa kondisi fisiologis yang berupa suhu dan frekuensi nafas normal, akan tetapi denyut nadi ternak, defekasi, urinasi, laying dan ruminasi tidak normal. Fisiologis lingkungan normal dan kondisi perkandangan tidak sesuai dengan syarat perkandangan yang baik. Anatomi ambing pada sapi dara masih berupa bantalan lemak sedangkan pada sapi laktasi sudah terbentuk saluran-saluran dengan sempurna. Hasil penilaian atau judging menunjukkan kondisi sapi tidak memenuhi standar penilaian universal. Faktor yang mempengaruhi kualitas dari sapi perah yaitu bangsa, pakan dan manajemen yang baik.

5.2. Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, sebaiknya kandang dibangun lebih terbuka agar ventilasi dan radiasi matahari dapat leluasa masuk. Jarak kamar susu dengan kandang maupun tempat pembuangan feses dijauhkan agar tidak terkontaminasi, ditambah karpet sebagai alas untuk sapi perah agar tidak licin dan mudah dibersihkan.



DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely, J. dan Bade, H. D. 1994. Ilmu Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Delaval. 2007. (dalam artikel Woro Sri P. Cow Comfort, Memang Penting? pada vet-indo.com diakses pada 30 November 2010 pukul 15.00 WIB)

Haryanto, B. 2000. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.

Kartasudjana, R. dan Santosa, U. 2001. Pemilihan Bibit. WordPress.

Lestari, T D. 2006. Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Mukhtar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS Press, Srakarta.
Munif. 2008. Memilih Ternak Sehat. Multiply, Indonesia. (http://sapiology.com).
(diakses pada 9 Desember 2010 pada pukul 17.05)

Prihadi, S. 1996. Tatalaksana dan Produksi Ternak Perah. Wangsamanggala University Press, Yogyakarta.

Ratna, dkk. 2010. Pengaruh Radiasi pada Makhluk Hidup. www.chem-is-try.org (diakses pada 30 November 2010 pada pukul 15.10)

Syarief, M. Z. dan Sumoprastowo. 1990. Ternak Perah. CV Yasaguna, Jakarta.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.



LAMPIRAN

Lampiran 1. Fisiologis Lingkungan
Tabel 1. Pengamatan Fisiologis Lingkungan
Waktu Suhu ( )
Kelembaban (%) Radiasi (Kcal m-2 jam-1)
Mikro Makro Mikro Makro Mikro Makro
06.00 27 26 94 92 238,16 234,57
12.00 31,5 36 48 86 254,82 272,34
18.00 30 25 78 84 249,17 231,02
24.00 26 22 90 49 234,57 220,62
Rata-rata 28,6 27,25 77,5 77,75 244,18 239,64
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

R = δ T4
T = 237 + oC
δ = 4,903 x 10-8

Radiasi pada pukul 06.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 27 oC T = 237 + 26 oC
= 264 oK = 263 oK
R = 4,903 x 10-8 (264)4 R = 4,903 x 10-8 (263)4
= 238,16 Kcal m-2 jam-1 = 234,57 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 12.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 31,5 oC T = 237 + 36 oC
= 268,5 oK = 273 oK
R = 4,903 x 10-8 (268,5)4 R = 4,903 x 10-8 (273)4
= 254,82 Kcal m-2 jam-1 = 272,34 Kcal m-2 jam-1

Radiasi pada pukul 18.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 30 oC T = 237 + 25 oC
= 267 oK = 262 oK
R = 4,903 x 10-8 (267)4 R = 4,903 x 10-8 (262)4
= 249,17 Kcal m-2 jam-1 = 231,02 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 24.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 26 oC T = 237 + 22 oC
= 263 oK = 259 oK
R = 4,903 x 10-8 (263)4 R = 4,903 x 10-8 (259)4
= 234,57 Kcal m-2 jam-1 = 220,62 Kcal m-2 jam-1

Lampiran 2. Fisiologis Ternak
Tabel 2. Pengamatan Fisiologis Ternak
Sapi Waktu Suhu Rektal
( )
Frekuensi Nafas (kali/menit) Denyut Nadi (kali/menit)

3 06.00 38 32 70
12.00 38,5 36 71
18.00 38,5 14 65
24.00 38,2 19 66
Rata-rata 38,3 26 68
7 06.00 38 23 70
12.00 38,5 27 70
18.00 38,3 19 67
24.00 38,4 19 68
Rata-rata 38,3 22 69
8 06.00 38 23 70
12.00 38,7 28 71
18.00 38,4 22 66
24.00 38,3 19 67
Rata-rata 38,3 23 69
9 06.00 37,8 17 72
12.00 38,2 23 72
18.00 38,3 17 67
24.00 38 20 67
Rat-rata 38,3 19 70
10 06.00 37,8 18 73
12.00 38,3 23 72
18.00 38,4 18 68
24.00 38,1 18 66
Rata-rata 38,1 19 70
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.



Lampiran 3. Tingkah Laku Ternak
Tabel 3. Defekasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (gram) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1033,33 3
7 450 2
8 625 4
9 1100 3
10 966,67 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 4. Urinasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (liter) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1,467 3
7 1,4 2
8 1,62 5
9 1,233 3
10 1,35 6
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 5. Laying
Sapi No Rata-rata lama laying (menit) Banyaknya laying (kali)
3 44 7
7 52 4
8 92 6
9 63 5
10 100 4
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 6. Ruminasi
Sapi No Rata-rata lama ruminasi (menit) Banyaknya laying (kali)
3 26 5
7 19 4
8 26 4
9 21 4
10 21 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

Lampiran 4. Judging Sapi Perah
Tabel 7. Hasil Penilaian Judging Sapi Perah
Dasar Penelitian Standar 3 7 8 9 10
I.General Appearance
a. Sifat Kebetinaan
b. Bahu punggung, kemudi, pangkal ekor dan ekor
c. kaki depan, kaki belakang dan teracak 30

10

10


10

10

5


10



10

8


6

10

5


10



10

7


8



7

6


7


II. Dairy Character
Bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut 20

20

10



10


10



16

10
III. Body Capacity
a.Ukuran Badan dan perut
b. Dada (dalam, lebar dan lingkar) 20
10

10
5

5
5

6
10

10

6

6

6

6

IV. Mammary System
a.Ambing (ukuran dan konsisten)
b.Ambing depan
c.Ambing belakang
d.Puting susu
e.Vena 30

10

6

7

5
2

10

5

6

5
1

2

2

2

2
1

8

5

5

4
1

7

4

4

3
1

2

2

2

3
1
Total 100 72 54 68 71 52
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.


Lampiran 5. Evaluasi Perkandangan
Berdasarkan hasil praktikum Produksi Ternak Perah, diperoleh data sebagai berikut:







Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak Depan












Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Ilustrasi 2. Kandang Tampak Belakang










Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 3. Kandang Tampak Atas

Lampiran 6. Anatomi Ambing
Anatomi Ambing Sapi Dara













Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 4. Anatomi Ambing Sapi Dara
Anatomi Ambing Sapi Laktasi








Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 5. Anatomi Ambing Sapi Laktasi




Lampiran 6. Anatomi Ambing (Lanjutan)

Sumber: Data Primer Prak

Ilustrasi 6. Anatomi Ambing Bagian Dalam









BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang membutuhkan perhatian berlebih dibanding ternak ruminansia lainnya untuk mampu mendapatkan susu dengan kualitas baik. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi perah yaitu fisiologi ternak, perkandangan dan pengamatan iklim. Judging atau penilaian perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas ternak yang baik. Sapi perah yang berkualitas baik akan memproduksi susu dan lemak susu yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik pula.
Tujuan pelaksanaan praktikum adalah untuk mengetahui kondisi fisiologis ternak, fisiologis lingkungan, perkandangan, anatomi ambing dan judging sapi perah. Manfaat pelaksanaan praktikum ini adalah agar praktikan lebih memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi ternak perah.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologis Ternak
2.1.1. Frekuensi Nafas
Frekuensi pernafasan dihitung dari jumlah hembusan nafas yang keluar dari hidung sapi dalam tiap menit. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit (Akoso, 1996). Gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakhea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf (Frandson, 1992).

2.1.2. Denyut Nadi
Denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit yang dapat didengarkan langsung dari jantung (Akoso, 1996). Pemeriksaan pulsus pada sapi dapat dipalpasi pada arteria maxillaris external dengan jari dan gerakan ke muka dan ke belakang) atau coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor, pada sapi diperoleh data denyut nadi yaitu 54-84 kali permenit (Frandson, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan (Williamson dan Payne, 1993).
2.1.3. Suhu Rektal

Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37 – 39 oC (Williamson dan Payne, 1993). Pada temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan (Parakkasi, 1995).

2.1.4. Defekasi
Defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam (Frandson, 1996). Hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar (Blakely dan Bade, 1994).

2.1.5. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1994). Air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urine yang dikeluarkan oleh seekor sapi (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.6. Laying
Sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit (Delaval, 2007). Tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh ternak (Williamson dan Payne, 1993).

2.1.7. Ruminasi
Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari (Frandson, 1996). Tingkah laku ruminasi ditandai apabila ternak menggerak-gerakkan mulutnya, dimana mengunyah atau menggerakkan mulut merupakan suatu bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari (Haryanto, 2000).
2.2. Fisiologis Lingkungan
2.2.1. Suhu
Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah dingin adalah 10 oC, daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2oC (Williamson dan Payne, 1993). Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak (Parakkasi, 1995).

2.2.2. Kelembaban
Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak, kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Di wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60% (Parakkasi, 1995). Panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit (Williamson dan Payne, 1993).

2.2.3. Radiasi
Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman (Williamson dan Payne, 1993). Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui (Ratna, 2010).
2.3. Perkandangan
2.3.1. Atap
Atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi (AAK, 1995). Prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari (Syarief, 1990).

2.3.2. Lantai
Lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak uda terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm) (Syarief, 1990). Panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencegah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain (Prihadi, 1996).

2.3.3. Dinding
Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka, sehingga udara bebas mudah keluar masuk (Prihadi, 1996). Pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat. Tinggi kandang dari lantai sekitar 125-150 cm (Syarief, 1990).

2.3.4. Tempat Pakan
Ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan (Syarief, 1990). Bak makan dan minum terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular (Prihadi, 1996).

2.3.5. Selokan
Selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm (Prihadi, 1996). Ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudakan sanitasi, kencing dan air tidak muda tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam aka membahayaan sapi (Syarief, 1990).

2.3.6. Kamar Susu
Suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran (Syarief, 1990). Persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Konstruksi kamar susu hendaknya sedemikian rupa sehingga keadaan di dalamnya selalu tenang (Prihadi, 1996).

2.4. Anatomi Ambing
2.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat kapasitasnya (Mukhtar, 2006). Ukuran dan bentuk kelenjar susu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan produksi, umur ternak, dan faktor genetik yang diturunkan oleh induk ternak tersebut (Prihadi, 1991). Setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron. Efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesterone menstimulus perkembangan lobulus (Lestari, 2006).

2.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain (Blakely dan Bade, 1994). Ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis (Mukhtar, 2006).

2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau penilaian sapi perah menyangkut pengamatan untuk menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah dan fungsi produksinya seekor sapi dengan karakteristik yang baik akan menampilkan produksi susu dan lemak susu untuk jangka waktu yang panjang (Blakely dan Bade, 1994). Ternak yang sehat dapat dipilih dengan melakukan penilaian melalui pandangan dari samping, belakang, dan depan atas ternak tersebut, untuk mengetahui bahwa ternak dalam kondisi sehat, maka perlu perlu diketahui karakteristik ternak yang sehat. Karakteristik tersebut meliputi, keadaan mata dan kulitnya normal, pergerakannya tidak kaku, tingkah laku dan nafsu makan normal, pengeluaran kotoran dan urine tidak sulit, tidak ada gangguan dalam berjalan dan berdiri, serta memiliki respirasi dan sirkulasi darah yang normal (Munif, 2008).
Memilih ternak berdasarkan visual berarti kita memilih ternak berdasarkan sifat-sifat yang tampak. Dalam cara ini memilih bibit hampir sama dengan seleksi untuk tujuan produksi. Seleksi berdasarkan visual ini biasa disebut dengan judging. Judging pada ternak dalam arti yang luas adalah usaha yang dilakukan untuk menilai tingkatan ternak yang memiliki karakteristik penting untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan dalam arti sempit adalah referensi untuk pemberian penghargaan tertentu dalam suatu kontes (Kartasudjana dan Santosa, 2001). Kapasitas badan diperhatikan dalam ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar. Sistem mamae harus besar, melekat dengan mantap sehingga dapat bertahan lama waktu diperah. Ambingnya besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak disamping besarnya penampungan susu. Pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar (Blakely dan Bade, 1994). Penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi aspek general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100 (Prihadi, 1996).



BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan pada hari Minggu sampai hari Senin tanggal 21-22 November 2010 pukul 05.30 sampai 05.30 WIB hari berikutnya di kandang sapi perah Laboratorium Ilmu Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi
Peralatan yang dibutuhkan adalah ember untuk menampung feses, timbangan untuk menimbang feses, termometer untuk mengukur suhu lingkungan, hygrometer untuk mengukur kelembaban lingkungan, sekop untuk mengambil feses, gelas ukur untuk mengukur urine yang dikeluarkan sapi, sapu untuk membersihkan kandang, termometer rektal untuk mengukur suhu tubuh sapi, black globe untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, sabit untuk mengambil rumput, penggaris dan alat tulis. Bahan yang diperlukan dalam praktikum ternak perah adalah sapi perah, pakan berupa rumput segar dan kandang.


3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi Ternak
3.2.1.1. Suhu Rektal. Mengukur suhu rektal dengan memasukkan termometer ke dalam rektal ternak selama satu menit dan kemudin melihat skala yang ada pada termometer tersebut kemudian mencatatnya. Melakukan pengukuran suhu rektal pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.2. Frekuensi Nafas. Melakukan pengukuran frekuensi nafas dengan meletakkan tangan didepan hidung ternak dan menghitung banyaknya nafas dalam satu menit. Melakukan pengukuran frekuensi nafas pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.1.3. Denyut Nadi. Mengukur denyut nadi dengan memegang dan menekan pangkal ekor ternak sampai terasa denyut nadinya, kemudian menghitung banyaknya denyut nadi tersebut selama satu menit. Melakukan pengukuran denyut nadi pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB

3.2.2. Fisiologi Lingkungan
3.2.2.1. Suhu Lingkungan. Melakukan pengamatan suhu lingkungan baik mikro dalam kandang dan mikro luar kandang dengan cara membaca skala yang terlihat pada termometer. Melakukan pengukuran suhu mikro dalam kandang dengan menempatkan termometer di dalam kandang. Sedangkan melakukan pengukuran suhu mikro luar kandang dengan menempatkan termometer diluar kandang. Mengukur suhu baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.2. Kelembaban. Melakukan pengamatan kelembaban dengan cara dengan membaca skala yang ada pada higrometer, yaitu dengan membaca dry bulb temperatur pada kolom paling kiri dan hasil perhitungan selisih dry bulb temperatur, wet bulb temperature pada baris paling atas, kemudian mengurutkan antara hasil pembacaan tersebut akan mendapatkan nilai kelembaban relatif. Mengukur kelembaban baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.2.3. Radiasi. Melakukan pengamatan radiasi dengan dengan mengukur temperatur benda hitam dan menghitungnya ke dalam rumus Stefan Boltzman. Mengukur radiasi baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB.

3.2.3. Perkandangan
Melakukan pengamatan perkandangan dengan mengukur kandang dan menggambarnya. Mengamati dan mencatat kandang sapi perah secara umum, selokan, tempat pakan, petak kandang, kamar susu, gudang penyimpanan ransum, tempat pengambilan air, tempat air minum, ventilasi kandang dan denah kandang.


3.2.4. Anatomi Ambing
Pengamatan anatomi ambing yaitu dengan mengamati awetan ambing sapi dara dan sapi laktasi, kemudian mengukur panjang puting depan dan belakang bagian kanan maupun kiri, jarak antar puting depan dan antar puting belakang, jarak antar puting depan dengan belakang baik kanan maupun kiri, panjang diagonal, panjang ligamentum suspensorium medialis dan panjang ligamentum suspensorium lateralis serta panjang fine membrane.

3.2.5. Judging Sapi Perah
Judging atau melakukan penilaian dengan mengamati general appearance, dairi character, body capacity dan mammary system dari sapi perah. General appearance meliputi sifat kebetinaan, bahu punggung, kemudi, pangkal ekor, ekor, kaki depan, kaki belakang dan teracak. Dairi character meliputi bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut. Body capacity meliputi ukuran badan, perut, dalam dada, lebar dada dan lingkar dada. Mammary system meliputi ukuran dan konsisten ambing baik ambing depan, ambin belakang, puting susu maupun vena dan kemudian memberikan score pada masing-masing aspek.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Ternak
4.1.1. Frekuensi Nafas
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi nafas pada sapi 3 adalah sebesar 25 kali per menit, sapi 7 sebesar 27 kali per menit, sapi 8 sebesar 23 kali per menit, sapi 9 sebesar 19 kali per menit dan sapi 10 sebesar 19 kali per menit. Rata-rata frekuensi nafas pada sapi tersebut berkisar antara 19-27 kali per menit dan sesuai dengan batas standar normal. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa frekuensi nafas rata-rata berkisar antara 20-30 kali per menit. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Ditambahkan oleh Frandson (1992), gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahan tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf.


4.1.2. Denyut Nadi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata denyut nadi pada sapi 3 adalah sebesar 68 kali per menit , sapi 7 sebesar 68 kali per menit, sapi 8 sebesar 68 kali per menit, sapi 9 sebesar 69 kali per menit dan sapi 10 sebesar 70 kali per menit. Rata-rata denyut nadi pada sapi tersebut berkisar antara 68-70 kali per menit dan berada di atas batas standar normal. Faktor–faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban baik mikro dalam maupun luar kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali setiap menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi pada ternak adalah aktifitas ternak, stres atau cekaman suhu serta kelembaban lingkungan.

4.1.3. Suhu Rektal

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh sapi 3 adalah sebesar 38,3 oC, sapi 7 sebesar 38,3 oC, sapi 8 sebesar 38,3 oC, sapi 9 sebesar 38 oC dan sapi 10 sebesar 38,15 oC. Rata-rata suhu pada sapi tersebut berkisar antara 38 oC-38,3 oC dan berada dalam kisaran standar suhu normal. Temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Kisaran suhu normal pada sapi adalah berkisar antara 37-39 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), bila temperatur lingkungan di atas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh yang menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan makanan.

4.1.4. Defekasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui berat rata-rata defekasi dalam satu hari sebesar 1033,33 gram, sapi 7 sebesar 450 gram, sapi 8 sebesar 625 gram, sapi 9 sebesar 1100 gram dan sapi 10 sebesar 966,67 gram. Defekasi merupakan proses pengeluaran sisa metabolisme, banyak sedikitnya feses yang dikeluarkan tergantung konsumsi pakan. Rata-rata defekasi sapi tersebut berkisar antara 2-4 kali selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar rata-rata sapi perah yang normal, dikarenakan pakan yang diberikan sangat kurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa defekasi adalah proses dikeluarkannya massa yang terdorong dari kolon ke rektum melalui anus. Standar defekasi normal pada sapi perah sebesar 5-9 kali selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran feses antara lain pakan yang dikonsumsi serta keadaan dan fungsi organ pencernaan. Kecernaan terhadap konsentrat cukup tinggi selain juga mampu mencerna serat kasar.


4.1.5. Urinasi
Berdasarkan hasil pengamatan pada sapi 3 diketahui volume rata-rata urinasi dalam satu hari sebesar 1,467 liter, sapi 7 sebesar 1,4 liter, sapi 8 sebesar 1,62 liter, sapi 9 sebesar 1,233 liter dan sapi 10 sebesar 1,35 liter. Rata-rata urinasi sapi tersebut berkisar antara 1,233-1,62 liter selama 24 jam dan tidak sesuai dengan standar urinasi rata-rata sapi perah yang normal. Urine merupakan sisa-sisa metabolisme, banyak sedikitnya urine yang dikeluarkan tergantung air minum yang dikonsumsi. Sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa air yang diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang dikeluarkan oleh seekor sapi. Standar urinasi normal pada sapi perah sebesar 6-12 liter selama 24 jam. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994), urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urin di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma.



4.1.6. Laying
Berdasarkan pengamatan, didapatkan rata-rata laying pada sapi 3 sebesar 44 menit, sapi 7 sebesar 52 menit, sapi 8 sebesar 92 menit, sapi 9 sebesar 63 menit dan sapi 10 sebesar 100 menit. Laying merupakan salah satu tingkah laku ternak untuk menghilangkan panas secara konduksi. Rata-rata laying pada sapi tersebut antara 44-100 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar normal laying sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Delaval (2007) yang menyatakan bahwa sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring, sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), tingkah laku berbaring pada sapi merupakan cara untuk menanggulangi temperatur tubuh secara konduksi dan lama sapi berbaring melakukan remastikasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan ukuran tubuh.

4.1.7. Ruminasi
Berdasarkan hasil pengamatan ruminasi pada sapi 3 sebesar 26 menit, sapi 7 sebesar 19 menit, sapi 8 sebesar 26 menit, sapi 9 sebesar 21 menit dan sapi 10 sebesar 21 menit. Rata-rata ruminasi pada sapi tersebut antara 19-21 menit dalam sehari dan tidak sesuai standar ruminasi sapi normal yang umumnya sekitar 8 jam. Ruminasi merupakan pengunyahan kembali pakan yang belum tercerna secara sempurna didalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa seekor sapi rata-rata melakukan ruminasi selama sekitar delapan jam sehari. Ruminasi adalah proses yang menyangkut regurgitasi makanan (kembali ke dalam mulut), remastikasi (pengunyahan kembali), reinsalivasi (pencampuran dengan saliva) dan kemudian ditelan kembali. Ditambahkan oleh Haryanto (2000), tingkah laku ruminasi ditandai ternak menggerak-gerakkan mulutnya dan merupakan bentuk tingkah laku ingestif, dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro terlihat tingkah laku ruminasi tertinggi terjadi pada pagi hari.

4.2. Fisiologi Lingkungan
4.2.1. Suhu
Berdasarkan hasil penghitungan fisiologi lingkungan didapatkan data rata-rata suhu mikroklimat dalam kandang dan mikroklimat luar kandang sebesar 28,6oC dan 27,25 oC. Kisaran suhu lingkungan kandang tersebut termasuk dalam standar normal. Suhu lingkungan baik mikro dalam kandang maupun mikro luar kandang mempunyai pengaruh terhadap pengambilan air dan aklimatisasi ternak. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa daerah tropik memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar 26,7 oC dan suhu pada siang hari mencapai 32,2 oC. Ditambahkan oleh Parakkasi (1995), temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak.

4.2.2. Kelembaban
Kelembaban lingkungan rata-rata pada lingkungan dalam kandang (mikro) adalah sebesar 77,5% dan luar kandang (makro) sebesar 77,75%. Angka tersebut menunjukkan lingkungan kandang berada dalam keadaan normal dan tidak ekstrim. Kelembaban mempengaruhi temperatur tubuh. Kelembaban normal ditandai dengan tingkah laku ternak yang terlihat nyaman untuk melakukan aktifitas hidup pokok. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa pada wilayah tropis seperti di Indonesia, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60%. Temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi pada ternak dan menurunkan sensasi lapar. Kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh ternak dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari radiasi matahari. Ditambahkan oleh Williamson dan Payne (1993), panas dan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik bagi parasit, jamur dan vektor penyakit.

4.2.3. Radiasi
Radiasi matahari rata-rata mikroklimat dan makroklimat kandang sebesar 244,18 dan 239,64. Radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa radiasi matahari adalah pancaran gelombang panas matahari baik yang langsung maupun pantulannya. Radiasi matahari dapat diperkirakan dengan mengukur temperatur benda hitam (black globe temperature) kemudian diukur dengan rumus Stefan Boltzman. Ditambahkan oleh Ratna (2010), radiasi menyebabkan penumpukan energi pada materi yang dilalui
4.3. Perkandangan
4.3.1. Atap
Berdasarkan evaluasi perkandangan sapi perah, atap kandang terbuat dari asbes dan sudah cukup untuk melindungi ternak dari hujan dan radiasi matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat AAK (1995) yang menyatakan bahwa atap berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan, juga berfungsi menjaga kehangatan sapi. Menurut Syarief (1990), prinsip dari atap adalah mencegah air menetes masuk ke dalam kandang. Sebaiknya digunakan atap genting, seng kurang baik untuk atap sebab cepat panas pada siang hari dan cepat dingin pada malam hari.

4.3.2. Lantai
Kandang sapi perah kemiringan lantai sudah cukup baik untuk membantu sanitasi. Kemiringan lantai pada kandang tersebut kurang lebih 5o, akan tetapi lantainya terlalu licin sehingga memungkinkan ternak terpeleset jatuh dan terluka. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa lantai strukturnya harus rata, kasar dan tidak licin supaya sapi tidak mudah terpeleset jatuh. Tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama (tiap panjang 1 m turun 1 cm). Konstruksi lantai kandang dibuat miring dengan tingkat kemiringan 5-10o. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), panjang ruangan sapi berdiri diukur sedemikian rupa sehingga kotoran sapi bisa jatuh tepat ke dalam selokan, bukan di tempat sapi itu berdiri, sehingga waktu berbaring ambing dan badan sapi itu tetap bersih. Lantai ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh pemisah yang dibuat dari beton, pipa besi atau dinding tembok yang panjangnya dua pertiga dari panjang ruangannya untuk mencengah saling ganggu mengganggu antar sapi satu dengan yang lain.

4.3.3. Dinding
Konstruksi dinding pada kandang sapi perah terlalu tinggi untuk daerah panas, sehingga radiasi matahari yang masuk ke kandang kurang dan sirkulasi udara juga kurang. Ukuran panjang dinding sebesar 12,6 m dan lebar 8,28 m. Pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) yang menyatakan bahwa pembuatan dinding kandang hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak seperti dinding rumah, tapi dalam keadaan terbuka (semi terbuka), sehingga udara bebas mudah keluar masuk. Ditambahkan oleh Syarief (1990), pembuatan kandang di daerah pegunungan, dindingnya hendaklah lebih tinggi sehingga kandang itu agak hangat.

4.3.4. Tempat Pakan
Tempat pakan pada kandang sapi perah terlalu dalam sehingga ternak sulit untuk mengambil pakan dan memungkinkan leher ternak terluka. Ukuran tempat pakan yaitu panjang 125 cm, lebar 40 cm dan terdapat 12 petak tempat pakan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran tempat pakan pada sapi perah yaitu ukuran tinggi sebelah dalam 40 cm, sebelah luar 80 cm, lebarnya 90 cm dan dasarnya cekung serta permukaannya dihaluskan. Ditambahkan pula oleh Prihadi (1996), bak makan dan minum satu dengan lainnya terpisah oleh dinding, untuk mencegah penyebaran penyakit menular

4.3.5. Selokan
Ukuran panjang selokan dalam sebesar 9,5 m, lebar 25 cm dan dalam 10 cm. Sedangkan ukuran selokan luar yaitu panjang 3,35 m, lebar 30 cm dan dalam 32 cm. Selokan yang berada di dalam maupun di luar kandang sudah cukup lebar sehingga air kencing maupun kotoran yang ada dapat mudah dibersihkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief (1990) yang menyatakan bahwa ukuran selokan dibuat agak lebar untuk memudahkan sanitasi, kencing dan air tidak mudah tersumbat oleh kotoran yang tertimbun di selokan. Selokan yang lebih dalam akan membahayakan sapi. Ditambahkan oleh Prihadi (1996), selokan dibuat di gang tepat dibelakang jajaran sapi dari ujung ke ujung kandang dengan lebar antara 40-50 cm, dalam 15-20 cm. Bagian ujung awal selokan dalamnya kurang dari 10 cm, sebaliknya pada ujung akhirnya tidak lebih dari 30 cm.

4.3.6. Kamar Susu
Berdasarkan pengamatan kamar susu dikandang sapi perah, diketahui luas kamar susu sebesar 11,5 m2 dan jarak dengan penampungan feses 8,74 m. Kamar susu pada kandang sapi perah terlalu dekat dengan kandang dan tempat pembuangan feses, sehingga susu dapat terkontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996), persyaratan kamar susu yang baik yaitu tidak berhubungan langsung dengan kandang untuk mencegah kontaminasi kotoran dan bau kandang. Bagian dalam kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton dan mudah dibersihkan. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin dan cukup terang. Ditambahkan oleh Syarief (1990), suatu usaha peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu yang digunakan untuk menyimpan dan membagikan air susu, untuk keperluan pemasaran.

4.4. Anatomi ambing
Berdasarkan pengamatan pada ambing baik ambing sapi dara maupun sapi laktasi, dapat diketahui bahwa ambing sapi memiliki empat kuartir yang masing-masing kuartir tidak saling berhubungan. Ukuran ambing bagian depan lebih kecil dari pada ukuran ambing bagian belakang. Terdapat sekat pemisah antar ambing bagian kiri dan kanan maupun ambing bagian depan dengan belakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.4.1. Anatomi Ambing Sapi Dara
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi dara, dapat diketahui bahwa ambing dara merupakan bantalan lemak tanpa pembuluh dan belum berkembang menjadi penghasil susu, karena sapi dara belum memiliki hormon yang diperlukan untuk menghasilkan susu sesuai dengan pendapat Lestari (2006) bahwa setelah pubertas, kelenjar mammae akan dihadapkan pada siklus yang membutuhkan peningkatan estrogen dan progesteron, efek dari estrogen adalah pada perkembangan pembuluh, sedang progesteron menstimulus perkembangan lobulus. Ambing sapi dara akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pedapat Mukhtar (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus berlangsung, pada sapi muda pertumbuhan sistem duktus terus berlangsung dan hasilnya terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir terus bertambah, sebagian pada timbunan jaringan lemak sampai bagian depan dan kuartir belakang, masing-masing menyatu dan bergabung pada bagian dasar ambing, berat ambing pada anak sapi sampai pubertas terus meningkat, demikian pula kapasitasnya.

4.4.2. Anatomi Ambing Sapi Laktasi
Berdasarkan pengamatan pada awetan ambing sapi laktasi dapat diketahui bahwa ambing sapi laktasi memiliki empat kuartir, dua kuartir bagian depan lebih kecil dari pada dua kuartir bagian belakang. Ambing sapi bagian luar berupa kulit dan ambing sapi bagian dalam dipisahkan oleh sekat tebal berupa ligamentum suspensorium medialis (sekat pemisah ambing bagian kanan dan kiri). Bagian ambing depan dan belakang dipisahkan oleh selaput tipis (fine membrane). Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah, dua kuartir bagian depan biasanya berukuran sekitar 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas atau tidak berhubungan satu sama lain. Ditambahkan oleh Mukhtar (2006), ambing sapi di bagian luar terbungkus oleh dinding luar yang disebut ligamentum suspensorium lateralis sedangkan di bagian dalam ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh suatu selaput pemisah tebal yang berjalan longitudinal dan menjulur ke atas bertaut pada dinding perut yang disebut ligamentum suspensorium medialis.

4.5. Judging Sapi Perah
Berdasarkan hasil pengamatan judging atau penilaian sapi perah, didapatkan hasil judging pada sapi 3 sebesar 72, sapi 7 sebesar 54, sapi 8 sebesar 68, sapi 9 sebesar 67 dan sapi 10 sebesar 71. Sapi tersebut termasuk sapi yang memiliki skor judging dibawah standar. Rata-rata kondisi permukaan kulit kasar, bahu punggung dan pangkal ekor nampak jelas terlihat karena tidak terdapat daging yang tumbuh di sekelilingnya. Ukuran perut nampak besar yang kemungkinan cacingan dan ambing berukuran kecil karena sudah tidak memproduksi susu lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) bahwa penilaian sapi perah dilakukan dengan menggunakan kartu penilaian universal yang berisi general appeareance, dairy character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100. Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa sapi perah yang baik adalah yang memiliki ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang besar, ambing besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif dan jumlahnya banyak di samping besarnya penampungan susu, pembuluh vena darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu sangat besar.

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa kondisi fisiologis yang berupa suhu dan frekuensi nafas normal, akan tetapi denyut nadi ternak, defekasi, urinasi, laying dan ruminasi tidak normal. Fisiologis lingkungan normal dan kondisi perkandangan tidak sesuai dengan syarat perkandangan yang baik. Anatomi ambing pada sapi dara masih berupa bantalan lemak sedangkan pada sapi laktasi sudah terbentuk saluran-saluran dengan sempurna. Hasil penilaian atau judging menunjukkan kondisi sapi tidak memenuhi standar penilaian universal. Faktor yang mempengaruhi kualitas dari sapi perah yaitu bangsa, pakan dan manajemen yang baik.

5.2. Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, sebaiknya kandang dibangun lebih terbuka agar ventilasi dan radiasi matahari dapat leluasa masuk. Jarak kamar susu dengan kandang maupun tempat pembuangan feses dijauhkan agar tidak terkontaminasi, ditambah karpet sebagai alas untuk sapi perah agar tidak licin dan mudah dibersihkan.



DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely, J. dan Bade, H. D. 1994. Ilmu Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Delaval. 2007. (dalam artikel Woro Sri P. Cow Comfort, Memang Penting? pada vet-indo.com diakses pada 30 November 2010 pukul 15.00 WIB)

Haryanto, B. 2000. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.

Kartasudjana, R. dan Santosa, U. 2001. Pemilihan Bibit. WordPress.

Lestari, T D. 2006. Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Mukhtar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS Press, Srakarta.
Munif. 2008. Memilih Ternak Sehat. Multiply, Indonesia. (http://sapiology.com).
(diakses pada 9 Desember 2010 pada pukul 17.05)

Prihadi, S. 1996. Tatalaksana dan Produksi Ternak Perah. Wangsamanggala University Press, Yogyakarta.

Ratna, dkk. 2010. Pengaruh Radiasi pada Makhluk Hidup. www.chem-is-try.org (diakses pada 30 November 2010 pada pukul 15.10)

Syarief, M. Z. dan Sumoprastowo. 1990. Ternak Perah. CV Yasaguna, Jakarta.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.



LAMPIRAN

Lampiran 1. Fisiologis Lingkungan
Tabel 1. Pengamatan Fisiologis Lingkungan
Waktu Suhu ( )
Kelembaban (%) Radiasi (Kcal m-2 jam-1)
Mikro Makro Mikro Makro Mikro Makro
06.00 27 26 94 92 238,16 234,57
12.00 31,5 36 48 86 254,82 272,34
18.00 30 25 78 84 249,17 231,02
24.00 26 22 90 49 234,57 220,62
Rata-rata 28,6 27,25 77,5 77,75 244,18 239,64
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

R = δ T4
T = 237 + oC
δ = 4,903 x 10-8

Radiasi pada pukul 06.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 27 oC T = 237 + 26 oC
= 264 oK = 263 oK
R = 4,903 x 10-8 (264)4 R = 4,903 x 10-8 (263)4
= 238,16 Kcal m-2 jam-1 = 234,57 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 12.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 31,5 oC T = 237 + 36 oC
= 268,5 oK = 273 oK
R = 4,903 x 10-8 (268,5)4 R = 4,903 x 10-8 (273)4
= 254,82 Kcal m-2 jam-1 = 272,34 Kcal m-2 jam-1

Radiasi pada pukul 18.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 30 oC T = 237 + 25 oC
= 267 oK = 262 oK
R = 4,903 x 10-8 (267)4 R = 4,903 x 10-8 (262)4
= 249,17 Kcal m-2 jam-1 = 231,02 Kcal m-2 jam-1
Radiasi pada pukul 24.00 WIB
Mikro Makro
T = 237 + 26 oC T = 237 + 22 oC
= 263 oK = 259 oK
R = 4,903 x 10-8 (263)4 R = 4,903 x 10-8 (259)4
= 234,57 Kcal m-2 jam-1 = 220,62 Kcal m-2 jam-1

Lampiran 2. Fisiologis Ternak
Tabel 2. Pengamatan Fisiologis Ternak
Sapi Waktu Suhu Rektal
( )
Frekuensi Nafas (kali/menit) Denyut Nadi (kali/menit)

3 06.00 38 32 70
12.00 38,5 36 71
18.00 38,5 14 65
24.00 38,2 19 66
Rata-rata 38,3 26 68
7 06.00 38 23 70
12.00 38,5 27 70
18.00 38,3 19 67
24.00 38,4 19 68
Rata-rata 38,3 22 69
8 06.00 38 23 70
12.00 38,7 28 71
18.00 38,4 22 66
24.00 38,3 19 67
Rata-rata 38,3 23 69
9 06.00 37,8 17 72
12.00 38,2 23 72
18.00 38,3 17 67
24.00 38 20 67
Rat-rata 38,3 19 70
10 06.00 37,8 18 73
12.00 38,3 23 72
18.00 38,4 18 68
24.00 38,1 18 66
Rata-rata 38,1 19 70
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.



Lampiran 3. Tingkah Laku Ternak
Tabel 3. Defekasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (gram) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1033,33 3
7 450 2
8 625 4
9 1100 3
10 966,67 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 4. Urinasi
Sapi No Rata-rata pengeluaran (liter) Banyaknya pengeluaran (kali)
3 1,467 3
7 1,4 2
8 1,62 5
9 1,233 3
10 1,35 6
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 5. Laying
Sapi No Rata-rata lama laying (menit) Banyaknya laying (kali)
3 44 7
7 52 4
8 92 6
9 63 5
10 100 4
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 6. Ruminasi
Sapi No Rata-rata lama ruminasi (menit) Banyaknya laying (kali)
3 26 5
7 19 4
8 26 4
9 21 4
10 21 3
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.

Lampiran 4. Judging Sapi Perah
Tabel 7. Hasil Penilaian Judging Sapi Perah
Dasar Penelitian Standar 3 7 8 9 10
I.General Appearance
a. Sifat Kebetinaan
b. Bahu punggung, kemudi, pangkal ekor dan ekor
c. kaki depan, kaki belakang dan teracak 30

10

10


10

10

5


10



10

8


6

10

5


10



10

7


8



7

6


7


II. Dairy Character
Bentuk badan, kehalusan badan, leher dan rambut 20

20

10



10


10



16

10
III. Body Capacity
a.Ukuran Badan dan perut
b. Dada (dalam, lebar dan lingkar) 20
10

10
5

5
5

6
10

10

6

6

6

6

IV. Mammary System
a.Ambing (ukuran dan konsisten)
b.Ambing depan
c.Ambing belakang
d.Puting susu
e.Vena 30

10

6

7

5
2

10

5

6

5
1

2

2

2

2
1

8

5

5

4
1

7

4

4

3
1

2

2

2

3
1
Total 100 72 54 68 71 52
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.


Lampiran 5. Evaluasi Perkandangan
Berdasarkan hasil praktikum Produksi Ternak Perah, diperoleh data sebagai berikut:







Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak Depan












Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Ilustrasi 2. Kandang Tampak Belakang










Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 3. Kandang Tampak Atas

Lampiran 6. Anatomi Ambing
Anatomi Ambing Sapi Dara













Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 4. Anatomi Ambing Sapi Dara
Anatomi Ambing Sapi Laktasi








Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 5. Anatomi Ambing Sapi Laktasi




Lampiran 6. Anatomi Ambing (Lanjutan)

Sumber: Data Primer Prak

Ilustrasi 6. Anatomi Ambing Bagian Dalam

1 komentar: