Total Tayangan Halaman

tissa zone

.

ღ٩(●̮̮̃•̃)۶ღ

Jumat, 24 Desember 2010

LAPORAN PRODUKSI TERNAK POTONG DAN KERJA QYUU

JUDUL : LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK POTONG
DAN KERJA

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bahan Kering Pakan
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Perhitungan BK Jerami
Loyang Berat Loyang (g) Berat Jerami Sebelum Dioven (g) Berat Loyang + Jerami Setelah Dioven
1 32,729 10,011 41,530
2 37,712 10,018 43,499
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Perhitungan BK Jerami
BK Jerami = Berat Loyang dan Jerami Setelah Dioven – Berat Loyang
Berat Jerami Sebelum Dioven

Jerami I = 41,530-32,729 x100%
10,011
= 87,26%
Jerami II = 43,499-37,712 × 100%
10,018
= 87,71%
BK Jerami Rata-Rata = BK Jerami I+BK Jerami II
2

BK Jerami Rata-rata = 87,26+87,7= 87,485%
2




Tabel 2. Perhitngan BK Konsentrat
Loyang Berat Loyang (g) Berat Sampel Sebelum Dioven (g) Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven
Dedak I 6,630 10,004 15,649
Dedak II 6,553 10,02 15,595
Konsentrat I 6,477 10,015 15,350
Konsentrat II 6,403 10,004 15,347
Ampas Bir I 6,857 10,003 15,57
Ampas Bir II 6,626 10,009 15,360
Bungkil Kelapa I 6,588 10,007 15,535
Bungkil Kelapa II 6,400 10,003 15,152
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Perhitungan BK Konsentrat

BK Sampel = Berat Loyang dan Sampel Setelah Dioven – Berat Loyang
Berat Sampel Sebelum Dioven

BK Sampel Rata-Rata = BK Sampel I+BK Sampel II
2

Dedak I = 15,649-6,630 x100%
10,004
= 90,15%

Dedak II = 15,595-6,553 × 100%
10,02
= 90,40%

Rata-rata = 90,15+90,40
2
= 90,275%

Konsentrat I = 15,350-6,477 x100%
10,015
= 88,59%

Konsentrat II = 15,347-6,403 × 100%
10,004
= 88,80%
Rata-rata = 88,59+88,80
2
= 88,696%

Ampas Bir I = 15,579-6,857 x100%
10,003
= 87,19%

Ampas Bir II = 15,360-6,626 × 100%
10,009
= 87,26%

Rata-rata = 87,19+87,26
2
= 87,225%

Bungkil Kelapa I = 15,353-6,588 x100%
10,007
= 87,58%

Bungkil Kelapa II = 15,152-6,400 × 100%
10,003
= 87,47%

Rata-rata = 87,58+87,47
2
= 87,525%

Pakan merupakan faktor yang penting untuk penggemukan sapi potong. Pakan yang diberikan dalam praktikum yaitu pakan kasar yang berupa jerami dan konsentrat yang berupa dedak, ampas bir dan bungkil kelapa. Jerami merupakan sisa hasil pegolahan padi dan konsentrat berfungsi sebagai sumber protein. Dedak merupakan sisa penggilingan padi. Ampas bir merupakan sisa hasil pengolahan bir dari bahan gandum. Bungkil kelapa merupakan hasil samping produksi minyak kelapa. Berdasarkan perhitungan diatas, diperoleh hasil BK jerami sebesar 87,485%, dedak sebesar 90,275%, konsentrat sebesar 88,696%, ampas bir sebesar 87,225% dan bungkil kelapa sebesar 87,525%. Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et al. (1991) yang menyatakan bahwa pakan digolongkan menjadi dua berdasarkan kandungan nutrisinya yaitu pakan kasar dan konsentrat. Hasil bahan kering (BK) bahan pakan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan pendapat Hartadi et al. (1997) yang melaporkan bahwa kandungan BK jerami padi, dedak halus, ampas bir dan bungkil kelapa mengandung BK 86%. Pakan diberikan dalam bentuk BK dikarenakan kandungan kadar air setiap bahan pakan berbeda-beda dan temperatur di tiap wilayah pun juga berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) bahwa daya cerna hijauan dapat dinyatakan dalam istilah bahan kering, bahan organik atau tenaga, atau dengan satu komponen seperti protein kasar (CP).

Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dapat diukur secara umum berdasarkan kenaikan bobot badan per satuan waktu.

BB Awal = 274,3 kg
BB Akhir = 277,3 kg
PBBH = BB Akhir-BB Awal
10
= 277,3-274,3
10
= 0,303 kg/hari
Sapi Jabres (Jawa Brebes) merupakan sapi keturunan sapi Jawa dengan sapi Brebes yang bertubuh lebih kecil dari sapi Madura dan memiliki warna kulit merah bata. Hal ini sesuai dengan pendapat Johari, et al. (2007), bahwa penampilan luar sapi Jawa hampir sama dengan sapi Madura, tetapi keragaman tubuhnya relatif lebih kecil dari sapi Madura dan ciri-ciri sapi Jawa yaitu tergolong sapi kecil, pendek, berkepala kecil dan bertanduk besar, berotot kuat, ekornya bagus, serta warna bulu kebanyakan merah tua. Sapi Jawa jantan berwarna lebih kehitaman daripada sapi betina. Selama 10 hari, sapi G mengalami pertambahan bobot badan sebesar 3 kg dan PBBH sebesar 0,303 kg/hari. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan PBBH sapi G tidak sesuai dengan target sebesar 0,5 kg/hari karena kondisi sapi yang sedang mengalami diare. Menurut Williamson dan Payne (1993) bahwa pertambahan bobot badan akan terjadi apabila ternak mampu mengubah zat-zat pakan yang diperolehnya menjadi produk ternak setelah pakannya terpenuhi. Menurut Kimball (1998), proses pertumbuhan merupakan salah satu proses baku dalam kehidupan organisme, secara sederhana proses pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses pertambahan massa. Oleh karena adanya pertambahan massa, maka terjadi perubahan ukuran organisme tersebut. Hewan yang mengalami pertumbuhan akan mengalami perubahan ukuran, meliputi ukuran panjang, berat, tinggi atau kandungan kimiawi tubuhnya. Sedangkan proses perkembangan relatif lebih kompleks, karena dalam proses perkembangan selain terjadi pertambahan massa, terjadi juga proses differensiasi pada massa tersebut, sehingga dihasilkan massa dengan struktur dan organisasi yang berbeda dengan kondisi awal. Proses diferensiasi merupakan proses yang menjadikan berbeda dengan kondisi semula.

Pengamatan Fisiologi Ternak
Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas. Hasil pengukuran fisiologi ternak pada praktikum ini merupakan rata-rata suhu rektal ternak, denyut nadi dan frekuensi nafas sapi pada pagi, siang, sore dan malam hari.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Fisiologi Ternak
Waktu Suhu Rektal (℃) Denyut Nadi (kali/menit) Frekuensi Nafas (kali/menit)
06.00 38,2 77 34
12.00 37,8 64 43
18.00 38 62 37
24.00 38,45 72 39
Rata-rata 38,11 69 38
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh sapi adalah 38,11℃. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993), bahwa kisaran normal pada jenis mammalia adalah 37 - 39℃. Sedangkan hasil pengukuran denyut nadi pada sapi G didapatkan hasil rata-rata sebanyak 69 kali/menit yang melebihi kisaran standar sapi normal, karena kondisi sapi yang sedang tidak sehat dan mengalami diare. Hal ini bertentangan dengan pendapat Akoso (1996) bahwa denyut jantung sapi normal berkisar antara 50 – 60 kali setiap menit yang dapat didengarkan langsung dari jantung. Frekuensi pernafasan dihitung dari jumlah hembusan nafas yang keluar dari hidung sapi dalam tiap menit, dan diperoleh hasil pengukuran sebanyak 38 kali/menit yang menunjukkan bahwa sapi dalam kondisi abnormal dikarenakan sakit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Akoso (1996) bahwa frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Pernafasan yang normal yaitu suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal. Frekuensi nafas rata-rata 20 – 30 kali per menit.

Pengamatan Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Pengukuran Fisiologi Lingkungan
Tanggal Waktu Mikroklimat Makroklimat
Suhu (℃) Rh (%) Suhu (℃) Rh (%)
1-10-2010 06.00 26 96 25 90
12.00 - - 32 54
18.00 - - - -
21.00 29 90 29 70
2-10-2010 06.00 29 79 29 70
12.00 29 62 32 35
18.00 - - - -
21.00 25 80 29 80
3-10-2010 06.00 25 85 28 82
12.00 30 69 32,5 99
18.00 - - - -
21.00 27,5 49 26 100
4-10-2010 06.00 25 89 26 82
12.00 31 44 36 100
18.00 23,5 90 27 81
21.00 26 78 26,5 42
5-10-2010 06.00 25 88 25 86
12.00 32 52 35,5 49
18.00 28 89 28 91
21.00 27 80 25 98
6-10-2010 06.00 22 98 23 94
12.00 31 51 33 45
18.00 29 75 28 80
21.00 23,5 89 25 100
7-10-2010 06.00 22 98 23 94
12.00 28 86 25 100
18.00 23 90 25 90
21.00 23 92 22 90
8-10-2010 06.00 23 92 22 90
Rata-rata 06.00 24,6 90,6 25,1 86
12.00 30,75 60,16 32,28 68,8
18.00 26,3 86 26,75 85,5
21.00 25,5 79,71 25,75 82,85
Rata-rata total 26,79 79,12 27,47 80,79
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Pengukuran fisiologi lingkungan bertujuan untuk mengetahui kisaran normal suhu dan kelembaban yang nyaman bagi ternak dan tidak memberikan cekaman bagi ternak. Pengamatan dilakukan sebanyak empat kali sehari, yaitu pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, 18.00 WIB, 21.00 WIB dikarenakan untuk mengetahui rata-rata suhu dan kelembaban ekstrim di pagi, siang, sore dan malam hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa suhu luar kandang (makro) pada pukul 06.00 WIB suhu rata-rata sebesar 25,1ºC, pukul 12.00 WIB suhu rata-rata sebesar 32,28ºC, pukul 18.00 WIB suhu rata-rata sebesar 26,75ºC, dan pada pukul 21.00 WIB suhu rata-rata sebesar 25,75°C. Sedangkan suhu dalam kandang (mikro) pada pukul 06.00 WIB suhu rata-rata sebesar 24,6ºC, pukul 12.00 WIB suhu rata-rata sebesar 30,753ºC, pukul 18.00 WIB suhu rata-rata sebesar 26,3ºC, dan pada pukul 21.00 WIB suhu rata-rata sebesar 25,5°C. Suhu tersebut termasuk kisaran normal di suatu wilayah yang beriklim tropis. Suhu mikro lebih kecil dibandingkan suhu makro karena kandang memiliki naungan yang melindungi ternak dari radiasi matahari, sehingga panas yang masuk lebih sedikit dari pada di luar ruangan. Menurut Williamson dan Payne (1993), di daerah tropik suhu rata-rata tahunan sekitar 26,70C dan suhu pada siang hari mencapai 32,20C. Pengukuran kelembaban, diperoleh kelembaban luar kandang (makro) pada pukul 06.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 86%, pukul 12.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 68,8%, pukul 18.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 85,5%, dan pada pukul 21.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 82,85%. Sedangkan kelembaban dalam kandang (mikro) pada pukul 06.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 90,6%, pukul 12.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 60,16%, pukul 18.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 86%, dan pada pukul 21.00 WIB kelembaban rata-rata sebesar 79,71%. Kelembaban tersebut telah memenuhi standar normal. Kelembaban mikro lebih besar dari kelembaban makro karena didalam kandang terdapat populasi ternak yang melakukan respirasi dan banyak uap air yang dikeluarkan oleh ternak tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang lebih lembab. Fisiologi lingkungan berhubungan dengan fisiologi ternak, karena bila suhu tinggi sensasi lapar akan rendah dan cenderung mengeluarkan panas tubuh, begitu sebaliknya bila suhu rendah maka sensasi lapar menjadi semakin tinggi sehingga mempengaruhi kondisi fisiologi ternak. Sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995), yang menyatakan bahwa temperatur yang tinggi akan mempengaruhi tingkat konsumsi ternak, kelembaban dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh dan tubuh dapat pula memperoleh panas secara langsung dari sinar matahari. Di wilayah tropis, kelembaban udara yang baik dan nyaman bagi ternak adalah lebih dari 60%.

Evaluasi Pakan
Evaluasi pakan meliputi perhitungan kebutuhan pakan, konsumsi pakan dan air minum, perhitungan BK feses, perhitungan konversi pakan, perhitungan efisiensi pakan, perhitungan daya cerna dan perhitungan feed cost per gain.

Perhitungan Kebutuhan Pakan
Nomor sapi = Sapi G
BB awal = 274,3 kg
PBBH sasaran = 0,5 kg
Lama pemeliharaan = 10 Hari
BK jerami = 87,485%
BK konsentrat = 88,696%
Perbandingan konsentrat : jerami = 70% : 30%

Kebutuhan pakan dari 2,6% BB awal = 2,6% x 274 = 7,124 kg BK

Kebutuhan Jerami = 30% x 7,124 = 2,13 kg BK
Kebutuhan Konsentrat = 70% x 7,124 = 4,98 kg BK
BS Jerami = 100 x 2,13 = 2,4 kg BS
87,48
BS Konsentrat = 100 x 4,98 = 5,6 kg BS
88,69

Tabel 5. Kebutuhan Pakan
Bobot Hidup (kg) PBBH (kg/hari) BK
250 0,50 6,2
300 0,50 7,0
Sumber: Kearl, 1982
Bobot Tujuan = Bobot Awal + ((Bobot Awal) + (PBBH + Lama Pemeliharaan))
2
= 274 + ((274) + (0,5 x 10)
2
= 276,5 kg

Bobot Tujuan – Bobot Bawah = BK Tujuan – BK Bawah
Bobot Atas – Bobot Bawah BK Atas – BK Bawah
276,5– 250 = X – 6,2
300 – 250 7,0 - 6,2
0,53 = X – 6,2
0,8
0,424 = X – 6,2
X = 6,624 kg BK
Kebutuhan Jerami = 30% x 6,624 = 1,9872 kg BK
Kebutuhan Konsentrat = 70% x 6,624 = 4,6368 kg BK
BS Jerami = 100 x 1,9872 = 2,2716 kg BS
87,48
BS Konsentrat = 100 x 4,6368 = 5,2280 kg BS
88,69

Berdasarkan perhitungan kebutuhan pakan dari 2,6% bobot badan awal, diperoleh kebutuhan jerami sebanyak 2,13 kg BK dan kebutuhan konsentrat sebanyak 4,98 kg BK. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2008) bahwa tingkat konsumsi ruminansia umumnya didasarkan pada konsumsi bahan kering pakan, baik dalam bentuk hijauan maupun konsentrat. Rata-rata konsumsi bahan kering pada ruminansia adalah 3-4% dari berat badan. Meskipun tingkat konsumsi didasarkan pada kadar bahan kering bahan pakan, ada faktor pembatas yaitu kapasitas rumen dalam mengolah bahan pakan, yang nilainya 10% dari berat badan sapi. Menurut Sosroamidjojo (1991), Kellner menyusun ransum atas dasar kebutuhan Prot.dd. (Protein dapat dicerna ), MP (Martabat Pati) dan IP (Imbangan Protein), dengan kebutuhan BK (Bahan Kering) 2 - 3% dari berat badan ternak.

Tabel 6. Konsumsi Pakan
Tanggal Jerami (kg) Konsentrat (kg)
P S K P S K
1-10-2010 2,5 0,5 2 5,4 0,5 4,9
2-10-2010 2,4 1,3 1,1 5,6 0,75 4,85
3-10-2010 2,4 0,6 1,8 5,6 1 4,6
4-10-2010 2,4 1,1 1,3 5,6 1,1 4,5
5-10-2010 2,4 0,3 2,1 5,6 0,9 4,7
6-10-2010 2,4 0,5 1,9 5,6 - 5,6
7-10-2010 2,4 0,2 2,2 5,6 - 5,6
8-10-2010 2,4 - 2,4 5,6 - 5,6
9-10-2010 2,4 - 2,4 5,6 - 5,6
10-10-2010 2,4 - 2,4 5,6 - 5,6
Total 24,1 3,8 20,3 55,8 4,5 51,3
Rata-rata 2,41 0,38 2,03 5,58 0,45 5,13
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Konsumsi BK Jerami = % BK Jerami x Konsumsi Jerami Segar 100
= 87,485% x 2,03
100
= 1,775 kg

Konsumsi BK Konsentrat = % BK Konsentrat x Konsumsi Konsentrat Segar
100
= 88,696% x 5,13
100
= 4,55 kg

Konsumsi BK Total = Konsumsi BK Jerami + Konsumsi BK Konsentrat
= 1,775 + 4,55
= 6,325 kg
Kontinuitas konsumsi pakan pada sapi G baik jerami maupun konsentrat relatif tetap. Hal itu dikarenakan pemberian pakan pada sapi telah diperhitungkan atas kebutuhan pakan berdasarkan bobot badannya, yaitu 2,6% dari berat badannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sosroamidjojo (1991), bahwa kebutuhan BK (Bahan Kering) 2 - 3% dari berat badan ternak. Kemampuan sapi mengkonsumsi pakan pun juga berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008) bahwa kemampuan sapi dalam mengkonsumsi ransum adalah terbatas. Keterbatasan ini dipengaruhi oleh faktor ternak itu sendiri, keadaan ransum dan faktor luar lainnya seperti suhu udara yang tinggi dan kelembaban yang rendah.

Tabel 7. Perhitungan BK Feses
Loyang Berat Loyang (g) Berat Feses Sebelum Dioven (g) Berat Loyang + Feses Setelah Dioven (g)
1 41,331 10,009 43,624
2 41,155 10,020 43,503
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Feses = Berat Loyang dan Feses Setelah Dioven – Berat Loyang x 100%
Berat Feses Sebelum Dioven

BK Feses I = 43,624 – 41,331 x 100%
10,009
= 23,11%

BK Feses II = 43,503 – 41,155 x 100%
10,020
= 23,43%
BK Feses Rata-Rata = BK Feses I + BK Feses II
2
= 23,11 + 23,43
2
= 23,27%

Bobot Feses dalam BK = Bobot Feses Segar x BK Rata-Rata
= 13,9 x 23,27%
= 3,23 kg BK
Berdasarkan perhitungan diatas, diperoleh hasil bobot feses dalam BK sebesar 3,23 kg BK. Total bobot feses dalam BK digunakan untuk perhitungan daya cerna. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1979), bahwa cara lain mendeterminasi daya cerna dalam percobaan ialah dengan cara tidak mengumpulkan feses dan kemudian menimbangnya, akan tetapi dengan cara mengambil sampel dari feses tersebut dan kemudian menimbangnya. Menurut Williamson dan Payne (1993), pada cara in vivo makanan yang ingin diketahui daya cernanya diberikan kepada ternak dan jumlah yang diberikan serta yang dikeluarkan dari bahan makanan diukur.

Perhitungan Konversi Pakan
PBBH = 0,303 kg
Konsumsi Total BK = 6,325 kg BK
Konversi Pakan = Konsumsi BK Total = 6,325 = 20,87
PBBH 0,303
Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan produk yang dihasilkan, yaitu seberapa banyak pakan yang dibutuhkan untuk membentuk 1 satuan bobot badan. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh konversi pakan sapi G sebesar 20,87, artinya sebanyak 20,87 kg pakan dapat menghasilkan bobot badan sebesar 1 kg. Perhitungan konversi pakan bertentangan dengan pendapat Tillman et al. (1991) bahwa konversi pakan normal adalah sekitar 8,56 - 9,22. Hal ini menunjukkan pakan yang diperlukan untuk menaikkan bobot badan terlalu besar dan tidak efisien, dikarenakan kandungan nutrien sangat kurang untuk diserap oleh tubuh. Menurut Darmono (1999), konversi pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna ternak, jenis kelamin, bangsa dan kualitas serta kuantitas pakan.

Perhitungan Efisiensi Pakan
PBBH = 0,303 kg
Konsumsi Total BK = 6,325 kg

Efisiensi Pakan = PBBH x 100%
Konsumsi BK Total

= 0,303 x 100% = 4,79%
6,325

Berdasarkan perhitungan diatas, diperoleh hasil efisiensi pakan sebesar 4,79%, dengan kenaikan bobot badan 0,303 kg/hari. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan efisiensi pakan sapi G sangat rendah dan tidak sesuai dengan standar. Berdasarkan pendapat Siregar (2008), efisiensi pakan normal adalah sekitar 60%. Efisiensi pakan ternak dapat diperoleh dengan cara membagi pertambahan bobot badan yang didapat perunit ransum selang waktu tertentu. Dengan kata lain konversi pakan kebalikan dari efisiensi pakan. Menurut Tillman et al. (1991), konversi dan efisiensi pakan dipengaruhi oleh kondisi sapi, bangsa sapi, palatabilitas pakan dan manajemen.

Perhitungan Daya Cerna
Total Feses BK = 3,23 kg BK
Konsumsi Total BK Selama Total Koleksi
Konsumsi BK Jerami = % BK Jerami x Konsumsi Jerami Segar
= 87,485 x 1,63
100
= 1,43 kg

Konsumsi BK Konsentrat = % BK Konsentrat x Konsumsi Konsentrat Segar
= 88,696 x 4,78
100
= 4,24 kg

Konsumsi BK Total = Konsumsi BK Jerami + Konsumsi BK Konsentrat
= 1,43 + 4,24
= 4,25 kg

Daya Cerna = Konsumsi BK Total – Bobot Feses dalam BK x 100%
Konsumsi BK Total
= 4,25- 3,23 x 100%
4,25
= 24%
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh presentase daya cerna dari sapi G, yaitu sebesar 24%. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan daya cerna sapi G rendah, artinya sapi G hanya dapat mencerna 24% dari seluruh jumlah pakan yang masuk. Standar normal daya cerna pada ruminansia adalah sebesar 60%. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1979) bahwa koefisien cerna dikalikan 100 memberikan persen daya cerna, atau 60 persen daya cerna. Menurut Tillman et al. (1991), daya cerna suatu bahan makanan atau ransum tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya.

Perhitungan Feed Cost per Gain
Harga jerami = Rp. 200,00/kg
Harga konsentrat = Rp. 2000,00/kg
PBBH = 0,303 kg/hari
Feed Cost per Gain =
(Harga jerami x pemberian jerami) + (harga konsentrat x pemberian konsentrat)
PBBH
= (200 x 2,4) + (2000 x 5,57)
0,303
= 480 + 11140
0,303
= Rp 38.349,00 per kg bobot badan per hari

Setiap harinya sapi G membutuhkan biaya Rp. 38.349,00 untuk memenuhi kebutuhan pakan dari 2,6% bobot badannya. Feed cost per gain ini terlalu tinggi, karena pengeluaran untuk pembelian pakan dan untuk meningkatkan 0,3 kg bobot badan terlalu mahal. Siregar (2008) menyatakan bahwa feed cost per gain merupakan perbandingan atau rasio jumlah harga jerami dikalikan pemberian jerami untuk ternak dan harga konsentrat dikalikan pemberian konsentrat untuk ternak ternak dengan produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut. Menurut Anggorodi (1979) Feed cost per gain dihitung berdasarkan harga pakan yang diberikan dibagi dengan pertambahan bobot badan harian.
Evaluasi Perkandangan
Evaluasi perkandangan meliputi evaluasi kandang tampak depan, samping, belakang, atas, dan denah perkandangan.











Ilustrasi 1. Kandang Tampak Atas
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.









Ilustrasi 2. Kandang Tampak Samping
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.






Ilustrasi 3. Kandang Tampak Belakang
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.









Ilustrasi 4. Kandang Tampak Depan



Ilustrasi 4. Kandang Tampak Depan
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010























Ilustrasi 5. Denah Perkandangan
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010

Berdasarkan evaluasi perkandangan yang ada di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, dari segi lokasi dapat dilihat bahwa kandang sapi yang ada sudah cukup bagus, kandang menghadap ke arah barat dan timur sehingga sinar matahari dapat masuk di pagi hari, sirkulasi udara dapat keluar masuk dengan lancar karena ventilasi yang baik dan didukung atap yang dapat melindungi ternak dari radiasi serta lantai yang terbuat dari semen memiliki kemiringan yang cukup membantu untuk sanitasi kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (208) bahwa syarat kandang yang baik yaitu dibuat dari bahan-bahan berkualitas, konstruksi lantai kandang dibuat miring dengan tingkat kemiringan 5-100, penyinaran matahari pagi, sistem ventilasi dan sirkulasi air lancar, kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin, atap dibuat dari bahan yang kuat dan dapat menimbulkan kehangatan. Kandang tersebut juga telah memiliki alat yang cukup memadai, seperti garu, sekop, kereta dorong, ember dan sapu lidi. Ditambahkan oleh Sudarmono (2008) bahwa perlengkapan kandang untuk sapi potong yang harus disediakan terutama adalah tempat makan dan minum, sedangkan perlengkapan pembersihnya meliputi sekop, sapu lidi, selang air, sikat, ember dan kereta dorong.
Ukuran Kandang
Panjang kandang = 13m
Tinggi kandang = 7 m
Lebar kandang = 7,5 m
Panjang palung = 12,4 m
Lebar palung = 55 cm
Kedalaman palung = 50 cm
Panjang selokan luar = 16,15 m
Lebar selokan dalam = 25 cm
Panjang selokan dalam = 13 m
Lebar selokan dalam = 25 cm
Kedalaman selokan dalam = 10 cm
Tinggi sekat = 1,3 m
Lebar sekat = 1,5 m
Panjang sekat = 1,5 m
Lebar gangway = 1 m
Ukuran bak air = 1 m
Jarak kandang dengan tempat pembuangan feses = 15 m


Perhitungan Carrying Capacity
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Luas lahan =70.000 m2
Sampel I = 1,4 kg
Sampel II = 1,5 kg
Sampel III = 1,6 kg
Berat Sampel rata-rata = 1,67 kg

Produksi Lahan = Luas Lahan x Rata-Rata Berat Sampel
= 70.000 x 1,67
= 116.900 kg/ha
Produksi Per Tahun = P(BB x 30) + P(BK x 30)
IPBB IPBK
= +
= 526.050 + 175.350
= 701.400 kg BS/Tahun

Produksi Per Hari = Produksi Lahan Per Tahun
Jumlah Hari dalam Setahun

= 701.400
365

= 1921,64 kg BS/Hari
BK Hijauan =25 %
Produksi Per Hari dalam BK = BK Hijauan x Produksi Per Hari dalam BS
= 25% x 1921,64
= 480,41kg BK/Hari
Catatan : Dengan asumsi seekor ternak berbobot x=350 kg membutuhkan y=10,5 kg hijauan

CC asumsi = Produksi Per Hari dalam BK
y
= 480,41
10,5
= 45,753

CC = _CC asumsi_
(BB awal : x)

= _45,753_ = 58,429 AU = 58 ekor sapi dewasa dan 1 ekor anakan
(274 : 350)
Berdasarkan perhitungan diatas, diperoleh Carrying Capacity untuk sapi G sebesar 58,429. Hal tersebut berarti bahwa luas lahan sebesar 70.000 m2 dapat memproduksi hijauan untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi sebanyak 58 ekor sapi dewasa dan 1 ekor anakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008) bahwa Carrying Capacity merupakan pengambilan sampel dari suatu lahan untuk memprediksi berapa banyak produksi lahan yang dihasilkan oleh lahan tersebut sehingga dapat diketahui berapa banyak ternak yang bisa dicukupi kebutuhannya oleh lahan tersebut. Menurut pendapat Tillman et al. (1991), manfaat carrying capacity adalah untuk mengetahui daya dukung lahan terhadap usaha peternakan dan jumlah ternak yang dapat ditampung berkaitan dengan ketersediaan pakan serta kecepatan pertumbuhan hijauan. Blakely dan Bade (1994) menyatakan bahwa 1 satuan ternak untuk satu ekor dewasa, 0,5 satuan ternak untuk satu ekor sapi muda dan 0,25 satuan ternak untuk satu ekor anak sapi.


KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa ternak sapi G mengalami kenaikan bobot badan. Pertambahan bobot badan ini didukung oleh pakan, fisiologi lingkungan dan perkandangan yang baik. Akan tetapi fisiologi ternak, konversi pakan dan efisiensi pakan serta daya cerna tidak sesuai dengan standar normal. Konversi pakan pada sapi G terlalu besar sehingga tidak efisien, sedangkan efisiensi pakan dan daya cerna nya terlalu rendah.
Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja perlu lebih diperhatikan terhadap penanganan limbah dari kotoran ternak, agar diletakkan jauh dari kandang dan bahkan bisa dimanfaatkan untuk biogas atau pupuk.



DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2008. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media, Jakarta.

Akoso, B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Jakarta.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.

Blakely, J and Bade, H. D. 1994. Ilmu Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.

Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Johari, S., E. Kurnianto, Sutopo and S. Aminah. 2007. Keragaman protein darah sebagai parameter biogenetik pada sapi jawa. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 32 (2): 112-118.

Kimball, J. W. 1998. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press, Jakarta.

Sosroamidjojo, M. S. 1991. Ternak Potong dan Kerja. CV Yasaguna, Jakarta.

Sudarmono, A. S., Y. B. Sugeng. 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakata.

Tillman, A. D., H Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

1 komentar: