Total Tayangan Halaman

tissa zone

.

ღ٩(●̮̮̃•̃)۶ღ

Kamis, 02 Desember 2010

LAPORAN IPT

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
ILMU PEMULIAAN TERNAK













Oleh :
Kelompok IX
Nurul Arifah H2A 009 210
Tati Susilawati H2A 009 213
Tis’a Permatasari H2A 009 214
Ahmad Baihaqi H2A 009 219
Diah Rahma Suryani H2A 009 220
Affan Aditya S. H2A 009 231










JURUSAN S1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : LAPORAN PRAKTIKUM ILMU PEMULIAAN
TERNAK
Kelompok : IX (SEMBILAN)
Jurusan : S1 PETERNAKAN
Tanggal Pengesahan : November 2010




Menyetujui,







Siti Anisah Ariyanih
Koordinator Asisten
Ilmu Pemuliaan Ternak




Eko Prasetiyo
Asisten Pembimbing



Mengetahui,








Dr.Ir. Edy Kurnianto MS. M. Agr.
Koordinator Praktikum
Ilmu Pemuliaan Ternak




Asep Setiaji
Koordinator Umum Asisten
Ilmu Pemuliaan Ternak

RINGKASAN
Kelompok IX. 2010. Laporan Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak (asisten pembimbing: EKO PRASETIYO).

Laporan Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 25 Oktober 2010 pukul 07.00-09.00 WIB di Laboratorium Ilmu Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Tujuan dari praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah agar mahasiswa dapat melakukan perhitungan nilai rata-rata warna kulit telur, perhitungan nilai rata-rata dan simpangan baku berat dan indeks bentuk telur, mengetahui koefisien keragaman berat dan indeks bentuk telur, menduga heritabilitas berat dan indeks bentuk telur, serta mengetahui nilai korelasi berat dan indeks bentuk telur.

Materi yang digunakan dalam praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah 50 butir telur ayam, 50 butir telur itik dan 50 butir telur puyuh. Alat yang digunakan yaitu timbangan untuk mengukur berat telur dan jangka sorong untuk mengukur panjang dan lebar telur, dan alat tulis untuk melakukan pengambilan data. Metode yang digunakan mengukur panjang dan lebar telur dengan menggunakan jangka sorong, menimbang telur. Melakukan analisa data meliputi penghitungan rata-rata, simpangan baku, koefisien keragaman dan presentase warna telur yang sama. Menduga nilai heritabilitas dan korelasi genetik antara berat dengan indeks bentuk telur.

Hasil dari praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak. Nilai indeks bentuk telur ayam sebesar 75,74, nilai indeks berat telur sebesar 59,03 gram, warna telur ayam yang dominan yaitu berwarna coklat sebesar 68%. Nilai heritabilitas indeks bentuk telur sebesar -0,23, sedangkan nilai heritabilitas berat telur sebesar 0,47. Nilai korelasi genetik yaitu 0,0054. Nilai indeks bentuk telur itik sebesar 79,22, nilai indeks berat telur sebesar 59,47 gram, warna telur itik yang dominan yaitu berwarna biru dan biru muda sebesar 36%. Nilai heritabilitas indeks bentuk telur sebesar -0,38, sedangkan nilai heritabilitas berat telur sebesar 0,38. Nilai korelasi genetik yaitu -0,18. Nilai indeks telur puyuh sebesar 75,28, nilai indeks berat telur sebesar 10,41 gram, warna telur puyuh yang dominan yaitu berwarna bercak coklat sebesar 62%. Nilai heritabilitas indeks bentuk telur sebesar -0,30, sedangkan nilai heritabilitas berat telur sebesar 1,89. Nilai korelasi genetik yaitu -0,023

Kata kunci : indeks, berat, warna, heritabilitas, korelasi genetik.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak dengan materi indeks telur ayam, berat bentuk telur ayam, warna telur ayam, heritabilitas indeks bentuk telur dan berat telur, korelasi genetik antara indeks bentuk telur dengan berat telur.
Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Edy Kurnianto, MS., MAgr. selaku koordinator praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak, kepada Asep Setiaji selaku koordinator umum, serta Siti Anisah Ariyani selaku koordinator asisten dan Eko Prasetyo selaku asisten pembimbing yang telah membimbing kami selama praktikum berlangsung serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Semarang, November 2010


Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

RINGKASAN iii

KATA PENGANTAR............................................................................... iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Telur Ayam 2
2.1.1. Berat Telur Ayam 2
2.1.2. Indeks Telur Ayam 3
2.1.3. Warna Telur Ayam 3
2.2. Telur Itik 3
2.2.1. Berat Telur Itik 4
2.2.2. Indeks Telur Itik 4
2.2.3. Warna Telur Itik 5
2.3. Telur Puyuh 5
2.3.1. Berat Telur Puyuh 5
2.3.2. Indeks Telur Puyuh 6
2.3.3. Warna Telur Puyuh 6
2.4. Heritabilitas 7
2.5. Korelasi 7

BAB III MATERI DAN METODE

3.1. Materi 9
3.2. Metode 10


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Telur Ayam 11
4.1.1. Berat Telur Ayam 11
4.1.2. Indeks Telur Ayam 12
4.1.3. Warna Telur Ayam 12
4.1.4. Heritabilitas 13
4.1.5. Korelasi 13
4.2. Telur Itik 14
4.2.1. Berat Telur Itik 14
4.2.2. Indeks Telur Itik 15
4.2.3. Warna Telur Itik 16
4.2.4. Heritabilitas 16
4.2.5. Korelasi 17
4.3. Telur Puyuh 17
4.3.1. Berat Telur Puyuh 18
4.3.2. Indeks Telur Puyuh 18
4.3.3. Warna Telur Puyuh 19
4.3.4. Heritabilitas 20
4.3.5. Korelasi 20

BAB V KESIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23


DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Mentah Hasil Pengamatan Telur Ayam 25
2. Perhitungan Nilai Rata-rata, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman
Berat Telur dan Indeks Bentuk Telur Ayam 26
3. Pendugaan Nilai Heritabilitas Indeks Bentuk Telur Ayam 28
4. Pendugaan Nilai Heritabilitas Berat Telur Ayam 29
5. Pendugaan Nilai Korelasi Antara Indeks Bentuk Telur dengan Berat
Telur Ayam 30
6. Data Mentah Hasil Pengamatan Telur Itik 37
7. Perhitungan Nilai Rata-rata, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman
Berat Telur dan Indeks Bentuk Telur Itik 38
8. Pendugaan Nilai Heritabilitas Indeks Bentuk Telur Itik 39
9. Pendugaan Nilai Heritabilitas Berat Telur Itik 40
10. Pendugaan Nilai Korelasi Antara Indeks Bentuk Telur dengan Berat
Telur Itik 41
11. Data Mentah Hasil Pengamatan Telur Puyuh 49
12. Perhitungan Nilai Rata-rata, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman
Berat Telur dan Indeks Bentuk Telur Puyuh 51
13. Pendugaan Nilai Heritabilitas Indeks Bentuk Telur Puyuh 52
14. Pendugaan Nilai Heritabilitas Berat Telur Puyuh 53
15. Pendugaan Nilai Korelasi Antara Indeks Bentuk Telur dengan Berat
Telur Puyuh 54


BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia memerlukan asupan protein yang lebih pada saat ini, terutama protein hewani. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah dengan mengkonsumsi telur minimal satu butir perhari. Telur unggas merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi manusia. Macam-macam telur unggas antara lain telur ayam, telur itik dan telur puyuh. Kandungan nutrisi pada telur umumnya sama, yang membedakan antara ketiga telur tersebut adalah ukuran dan tampilan fisik. Hal tersebut dikarenakan telur-telur tersebut berasal dari jenis ternak yang berbeda. Ukuran, warna dan bentuk telur dari sesama jenis unggas juga beranekaragam, dikarenakan berasal dari berbagai macam induk dan pejantan.
Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak ini bertujuan untuk mengetahui nilai heritabilitas dan korelasi genetik dari telur ayam, telur itik dan telur puyuh, persentase warna telur yang sama dari 50 butir telur ayam, 50 butir telur itik dan 50 butir telur puyuh, nilai rata-rata dan simpangan baku, serta koefisien keragaman. Manfaat yang didapat dari praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah agar praktikan memiliki wawasan dan pengetahuan mengenai sifat yang diwariskan dari tetua kepada keturunannya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telur Ayam
Telur ayam terdiri dari sebuah sel reproduktif seperti pada mamalia. Pada ayam, sel telur tersebut dikelilingi oleh kuning telur (yolk), albumen, membran kerabang, kerabang dan kutikula. Kerabang pada telur terbuat dari bahan CaCo3 atau kalsit (Suprijatna et al., 2005). Komponen penyusun telur adalah cangkang (kulit telur), membran putih telur, membran kuning telur dan kuning telur. Warna telur dipengaruhi oleh zat warna yang dikumpulkan dalam kerabang pada saat penbentukan di dalam uterus (Syarief dan Irawati, 1990).

2.1.1. Berat telur ayam
Berat telur ayam sesuai dengan ayamnya. Telur tidak boleh terlalu berat ataupun terlalu kecil (daya penetasannya amat rendah). Beratnya tidak boleh kurang dari 42 gram dan tidak boleh lebih dari 70-80 gram. Keseimbangan berat telur dan berat badan anak ayam adalah tetap adanya (Sudaryani, 1996). Berat telur yang baik adalah sekitar 50-60 gram tidak boleh terlalu berat atau terlalu ringan. Telur harus berasal dari induk yang umurnya sudah lebih dari satu tahun, karena telur sudah cukup besar. Telur yang kecil akan menghasilkan ayam yang kecil juga (Dwiyanto dan Prijono, 2007).
2.1.2. Indeks telur ayam
Indeks telur merupakan persentase perbandingan antara lebar telur dan panjang telur (Yuwanta, 2004). Nilai indeks telur mencerminkan daya tetas telur, indeks telur adalah perbandingan lebar maksimal dengan panjang maksimal telur lalu dikalikan dengan 100% (Setiawan, 2010).
Bentuk telur ayam ras tidak sebulat telur puyuh, indeks bentuk telur ayam ras sebesar 73,6% (Syamsir, 1993). Perbedaan nilai indeks bentuk telur yang semakin besar maka menunjukkan bahwa telur itu semakin bulat, dan semakin kecil nilai indeks telur maka bentuk telur akan semakin lonjong (Yuwanta, 2004).

2.1.3. Warna telur ayam

Telur ayam ras, kulitnya ada yang berwarna coklat dan ada yang berwarna putih. (Hadiwiyoto, 1993). Variasi warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya masing-masing. Warna telur adalah warna kerabang telur tersebut. Pigmen yang dihasilkan di uterus pada saat kerabang diproduksi bertanggung jawab pada warna (Suprijatna et al., 2005).


2.2. Telur Itik
Telur itik merupakan hasil pertama yang diperoleh dari ternak itik selain dagingnya. Telur itik berukuran hampir sama dengan ukuran telur ayam dan kandungan gizi nya pun hampir sama. Akan tetapi, telur itik kulitnya berwarna biru, biru muda serta biru tua (Samosir, 1993). Telur itik biasanya berukuran besar, warna kulitnya hijau kebiruan. Kandungan gizi pada telur itik hampir sama dengan kandungan gizi telur ayam, akan tetapi pada telur itik mudah sekali menyerap air dan kotoran (Rasyaf, 1994).

2.2.1. Berat Telur Itik
Klasifikasi besar ukuran telur digolongkan menjadi empat golongan yaitu besar sekali, besar, medium, dan kecil. Ukuran telur besar sekali apabila berat telur rata-rata 61 gram, ukuran telur besar memiliki berat 50-60 gram, ukuran telur medium memiliki berat rata-rata 40-50 gram dan ukuran telur kecil apabila memiliki berat telur sebesar kurang dari 40 gram. Berat telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, umur, induk, pakan dan tingkat dewasa kelamin induk (Hardjosubroto, 1994). Berat telur itik yang normal adalah antara 65-75 gram (Srigandono, 1996).

2.2.2. Indeks Telur Itik
Indeks bentuk telur adalah nilai presentase hasil perbandingan lebar telur dengan panjang telur. Bentuk telur yang ideal adalah telur yang mempunyai ukuran dengan sumbu lebar 4,2 cm serta panjang 5,7 cm. Telur yang bentuknya pendek dan bulat tanpa dipengaruhi oleh bobot telur akan menunjukkan angka indeks telur yang tinggi. Indeks bentuk telur menunjukkan tingkat kelonjongan telur. Semakin besar angka indeks bentuk telur tersebut akan semakin bulat dan sebaliknya (Setiadi 2000). Rumus indeks telur yaitu perbandingan antara lebar dengan panjang dikalikan 100% (lebar/panjang x 100%). Semakin tinggi indeks telur maka kualitas telur semakin baik. Indeks bentuk telur bervariasi dan dipengaruhi oleh variasi indvidu, spesies, umur, dan hereditas (Ranto, 2009)

2.2.3. Warna telur itik
Telur itik, kulitnya ada yang berwarna biru, biru muda dan biru tua (Rasyaf, 1994). Warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya. Warna telur adalah warna kerabang telur tersebut. Pigmen yang dihasilkan di uterus pada saat kerabang diproduksi bertanggung jawab pada warna (Suprijatna et al., 2005).

2.3. Telur puyuh
Telur burung puyuh berbeda dengan telur-telur unggas lain, sebab telur puyuh mempunyai warna yang bermacam-macam yaitu bercak hitam, coklat dan biru (Nugroho, 1990). Burung puyuh mulai bertelur pada umur 42 hari, produksi telurnya dapat mencapai 250 – 300 butir pertahun dengan bobot sekitar 10 gram per butir (Rasyaf, 1991).

2.3.1. Berat telur puyuh
Berat telur puyuh bervariasi yakni antara 10-15 gram. Berat telur puyuh yang terberat adalah 10,8 gram pada periode pertelur 28 minggu (Nugroho, 1990). Telur yang dihasilkan oleh induk yang masih muda biasanya lebih ringan dan ukurannya lebih kecil, dan memerlukan waktu relatif lebih lama untuk mencapai standar berat normal dari pada induk yang lebih tua (Sudaryani, 1996).

2.3.2. Indeks telur puyuh
Bentuk telur yang dihasilkan oleh setiap induk akan mempunyai bentuk yang khas, hal ini disebabkan karena bentuk telur merupakan salah satu faktor yang diturunkan dari induk kepada anaknya. Bentuk telur ditentukan dengan indeks bentuk telur yaitu dengan cara membagi lebar telur dengan panjang telur dikali 100% (Suharno et al., 1994). Bentuk telur puyuh lebih bulat daripada telur ayam ras. Indeks bentuk telur puyuh adalah 79,2% sedangkan indeks bentuk telur ayam ras sebesar 73,6% (Syamsir, 1993).
Indeks bentuk telur yaitu perbandingan antara diameter panjang telur dibagi dengan diameter lebar telur yang dapat dituliskan dalam bentuk persentase (Yuwanta, 2004). Indeks bentuk telur diukur antara poros sampai panjang yang terbesar yaitu jarak antara kedua kutub telur terbesar dan garis menengah yang terkecil pada telur itu merupakan suatu tetapan (Sastroamidjojo dan Seno, 1991).

2.3.3. Warna telur puyuh
Warna telur burung puyuh bermacam-macam, yaitu coklat tua, biru, putih dan kekuning-kuningan, dengan bercak-bercak hitam, coklat dan biru. Pigmen dari kulit telur puyuh berasal dari oopophyrin dan billiverdin (Nugroho, 1990). Variasi warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya masing-masing. Warna telur adalah warna kerabang telur. Pigmen yang dihasilkan di uterus bertanggung jawab pada warna telur (Suprijatna et al., 2005).


2.4. Heritabilitas
Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total (yang diukur dengan ragam) dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Nilai heretabilitas negatif atau lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tiadak dapat menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif, kesalahan dalam pengambilan contoh (Warwick et al., 1995). Nilai heritabilitas di kategorikan rendah, sedang dan tinggi, bila mempunyai nilai masing-masing 0 – 0,15; 0,15 - 0,30; dan > 0,30. Nilai heritabilitas yang mendekati 1 menunjukkan bahwa suatu sifat memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan seleksi. Sebaliknya, nilai heritabilitas yang rendah untuk suatu sifat menunjukkan bahwa respon seleksi akan lambat (Kurnianto, 2009).

2.5. Korelasi
Korelasi adalah hubungan dua variabel atau dua parameter yang diketahui pada pembahasan tentang sifat kuantitatif. Pembahasan korelasi genetik berkaitan dengan hubungan antar satu sifat lain genetik, nilai koefisien korelasi mempunyai nilai -1 sampai 1 (Kurnianto, 2009). Korelasi genetik adalah hubungan antara dua sifat atau variabel yang secara statistik dapat dinyatakan secara korelasi dan regresi. Tiap korelasi yang benar untuk populasi-populasi tertentu dapat sangat menyimpang terutama bila ada seleksi yang kuat dan lama untuk satu sifat atau lebih (Warwick et al., 1995).
Korelasi genetik antara dua sifat dikatakan ada jika gen-gen yang mempengaruhi sifat pertama juga mempengaruhi sifat kedua. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan genetik untuk seleksi dua sifat atau lebih adalah korelasi genetik antar sifat yang diseleksi pleiotrophy dan nilai korelasi berkisar antar -1 dan +1, yang disebut sebagai korelasi sempurna, sebab setiap penurunan atau peningkatan variabel x akan diikuti oleh peningkatan atau penurunan variabel y dalam jumlah unit yang sama (Noor, 1996). Hubungan antara dua ubahan secara statistik dapat dinyatakan secara korelasi. Hubungan korelatif dapat dibedakan atas korelasi fenotip, korelasi genetik, korelasi lingkungan. Metode statistik yang digunakan untuk menaksir besarnya korelasi genetik adalah berdasarkan analisis kovariansi untuk menaksir besarnya komponen ragam maupun peragam dari dua sifat (Hardjosubroto, 1994).

BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak dilaksanakan pada hari Senin tanggal 25 Oktober 2010, pukul 07.00-09.00 WIB di Laboratorium Ilmu Pemuliaan dan Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum ini yaitu menggunakan 50 butir telur ayam, 50 butir telur itik dan 50 butir telur puyuh. Alat yang digunakan adalah jangka sorong untuk mengukur indeks bentuk telur, timbangan untuk menimbang berat telur, dan alat tulis untuk mencatat hasil pengukuran dan penimbangan telur.

3.2. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu membagi tiap kelompok menjadi tiga regu yang terdiri 2 orang. Orang pertama mengukur panjang dan lebar telur dengan menggunakan jangka sorong dan orang kedua menimbang telur menggunakan timbangan telur. Mengamati dan mencatat warna kulit dari masing-masing telur yang telah ditimbang atau diukur. Memasukkan hasil pengamatan pada tabel yang telah tersedia, kemudian menghitung rata-rata, simpangan baku, koefisien keragaman indeks bentuk telur, nilai heritabilitas indeks bentuk telur dan berat telur, serta menghitung korelasi genetik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Telur Ayam
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa telur yang diamati berupa telur ayam. Kerabang telur berwarna cokelat dan keras, terbuat dari kalsit. Hal ini sesuai dengan Suprijatna et al. (2005) bahwa kerabang pada telur terbuat dari bahan CaCo3 atau kalsit. Warna telur cokelat, dipengaruhi oleh zat warna tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Irawati (1990) yang menyatakan bahwa warna telur dipengaruhi zat warna yang dikumpulkan dalam kerabang pada saat penbentukan di dalam uterus.

4.1.1. Berat telur ayam
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa berat telur rata-rata adalah 59,03 gram, ini sesuai dengan pendapat Sudaryani (1996) yang menyatakan bahwa berat telur ayam sesuai dengan ayamnya. Telur tidak boleh terlalu berat ataupun terlalu kecil (daya penetasannya amat rendah). Beratnya tidak boleh kurang dari 42 gram dan tidak boleh lebih dari 70-80 gram. Menurut Dwiyanto dan Prijono (2007), keseimbangan berat telur dan berat badan anak ayam adalah tetap adanya. Berat telur yang baik adalah sekitar 50-60 gram tidak boleh terlalu berat atau terlalu ringan. Telur harus berasal dari induk yang umurnya sudah lebih dari satu tahun, karena telur sudah cukup besar. Telur yang kecil akan menghasilkan ayam yang kecil juga.
4.1.2. Indeks telur ayam
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa nilai indeks bentuk telur ayam sebesar 75,74. Besar nilai indeks telur tidak jauh berbeda dengan pendapat Syamsir (1993) bahwa bentuk telur ayam ras tidak sebulat telur puyuh, indeks bentuk telur ayam ras sebesar 73,6. Angka tersebut diperoleh dari pembagian antara lebar dan panjang telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) bahwa indeks telur merupakan persentase perbandingan antara lebar telur dan panjang telur. Besar angka tersebut merupakan rataan perhitungan dari 50 butir telur dan menunjukkan bentuk telur yang baik karena proporsional. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryani (1996) bahwa bentuk telur yang baik adalah proporsional, tidak berbenjol tidak terlalu lonjong dan tidak terlalu berat.

4.1.3. Warna telur ayam
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa warna telur ayam yang dominan yaitu berwarna coklat sebesar 68%. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan bahwa telur ayam ras, kulitnya ada yang berwarna coklat dan ada yang berwarna putih. Menurut Suprijatna et al. (2005), variasi warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya masing-masing. Warna telur adalah warna kerabang telur tersebut. Pigmen yang dihasilkan di uterus pada saat kerabang diproduksi bertanggung jawab pada warna.


4.1.4. Heritabilitas
Nilai heritabilitas indeks bentuk telur ayam sebesar -0,23, nilai tersebut negatif dimungkinkan karena keadaan lingkungan berbeda, metode yang digunakan tidak tepat dan kesalahan dalam mengambil contoh. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick et al. (1995) bahwa nilai heretabilitas negatif atau lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif, kesalahan dalam pengambilan contoh. Nilai heritabilitas berat telur sebesar 0,47. Besar angka tersebut menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurnianto (2009) yang menyatakan bahwa heritabilitas dikategorikan tinggi, bila mempunyai nilai > 0,30. Nilai h2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa suatu sifat memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan seleksi. Sebaliknya, nilai h2 yang rendah untuk suatu sifat menunjukkan bahwa respon seleksi akan lambat.

4.1.5. Korelasi
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai korelasi genetik indeks bentuk telur dan berat telur ayam yaitu 0,0054. Hal ini berarti terdapat hubungan dalam dua variabel pada ayam yaitu antara indeks bentuk dan berat telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurnianto (2009) bahwa korelasi adalah hubungan dua variabel atau dua parameter yang diketahui pada pembahasan tentang sifat kuantitatif. Nilai koefisien korelasi mempunyai nilai -1 sampai 1. Korelasi genetik adalah hubungan antara dua sifat atau variabel yang secara statistik dapat dinyatakan secara korelasi dan regresi, nilainya dapat positif atau negatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick et al. (1995) bahwa tiap korelasi yang benar untuk populasi-populasi tertentu dapat sangat menyimpang terutama bila ada seleksi yang kuat dan lama untuk satu sifat atau lebih.

4.2. Telur Itik

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pada telur itik, telur yang diamati dianggap sebagai anakan pertama yang mengandung gizi yang sempurna. Hal ini sesuai dengan pendapat Samosir (1993) yang menyatakan bahwa telur itik merupakan hasil pertama yang diperoleh dari ternak itik selain dagingnya. Telur itik berukuran hampir sama dengan ukuran telur ayam dan kandungan gizi nya pun hampir sama. Akan tetapi, telur itik kulitnya berwarna biru, biru muda serta biru tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1994), bahwa telur itik biasanya berukuran besar, warna kulitnya hijau kebiruan. Kandungan gizi pada telur itik hampir sama dengan kandungan gizi telur ayam, akan tetapi pada telur itik mudah sekali menyerap air dan kotoran.

4.2.1. Berat Telur Itik

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh rata-rata berat telur sebesar 59,47 gram. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Srigandono (1996) yang menyatakan bahwa berat telur itik yang normal adalah antara 65-75 gram. Telur itik pengamatan termasuk dalam kategori ukuran telur yang besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Ranto (2009) yang menyatakan bahwa klasifikasi besar ukuran telur digolongkan menjadi empat golongan yaitu besar sekali, besar, medium, dan kecil. Ukuran telur besar sekali apabila berat telur rata-rata 61 gram, ukuran telur besar memiliki berat 50-60 gram, ukuran telur medium memiliki berat rata-rata 40-50 gram dan ukuran telur kecil apabila memiliki berat telur sebesar kurang dari 40 gram. Berat telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, umur, induk, pakan dan tingkat dewasa kelamin induk.

4.2.2. Indeks Telur Itik
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa nilai indeks bentuk telur itik sebesar 79,22 nilai indeks berat telur sebesar 59,47 gram. Nilai indeks telur tersebut diperleh dari perbandingan lebar telur dengan panjang telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiadi (2000) yang menyatakan bahwa indeks bentuk telur adalah nilai presentase hasil perbandingan lebar telur dengan panjang telur. Bentuk telur yang ideal adalah telur yang mempunyai ukuran dengan sumbu lebar 4,2 cm serta panjang 5,7 cm. Telur yang bentuknya pendek dan bulat tanpa dipengaruhi oleh bobot telur akan menunjukkan angka indeks telur yang tinggi. Indeks bentuk telur menunjukkan tingkat kelonjongan telur. Semakin besar angka indeks bentuk telur tersebut akan semakin bulat dan sebaliknya. Ranto (2009) menyatakan bahwa rumus indeks telur yaitu perbandingan antara lebar dengan panjang dikalikan 100% (lebar/panjang x 100%). Semakin tinggi indeks telur maka kualitas telur semakin baik. Indeks bentuk telur bervariasi dan dipengaruhi oleh variasi indvidu, spesies, umur, dan hereditas.

4.2.3. Warna Telur Itik

Berdasarkan hasil praktikum dari 50 butir telur itik didapatkan tiga warna telur ayam yang berbeda yaitu biru, biru muda dan biru tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1994) yang menyatakan bahwa telur itik kulitnya ada yang berwarna biru, biru muda dan biru tua. Perhitungan persentase warna telur diketahui presentase warna biru dan warna biru muda sebesar 36% serta presentase telur warna biru sebesar 28%. Variasi warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya masing-masing. Sesuai pendapat Suprijatna, et. al. (2005) yaitu warna sangat konsisten untuk setiap ayam, merupakan genetik make-up dari individu.

4.2.4. Heritabilitas
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa hasil perhitungan nilai heritabilitas indeks bentuk telur sebesar -0,38, sedangkan nilai heritabilitas berat telur sebesar 0,38. Nilai heritabilitas indeks bentuk telur termasuk kategori rendah, sedangkan nilai heritabilitas berat telur termasuk kategori sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (1996) yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas suatu sifat berkisar antara 0-1. Pada umumnya nilai heritabilitas dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Nilai heritabilitas suatu sifat dikatakan rendah jika nilainya berada antar 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Menurut Sudaryani (1996), heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total (yang diukur dengan ragam) dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Istilah heritabilitas biasanya menunjukkan taksiran bagian aditif dan ragam keturunan dengan simbol (h2).

4.2.5. Korelasi
Nilai korelasi genetik antara indeks bentuk telur dengan berat telur yaitu sebesar -0,18. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (1996) yang menyatakan bahwa nilai korelasi berkisar antar -1 dan +1, yang disebut sebagai korelasi sempurna, sebab setiap penurunan atau peningkatan variabel x akan diikuti oleh peningkatan atau penurunan variabel y dalam jumlah unit yang sama. Menurut Hardjosubroto (1994), hubungan antara dua ubahan secara statistik dapat dinyatakan secara korelasi. Hubungan korelatif dapat dibedakan atas korelasi fenotip, korelasi genetik, korelasi lingkungan. Metode statistik yang digunakan untuk menaksir besarnya korelasi genetik adalah berdasarkan analisis kovariansi untuk menaksir besarnya komponen ragam maupun peragam dari dua sifat.

4.3. Telur Puyuh
Berdasarkan hasil praktikum telur burung puyuh memiliki struktur fisik yaitu berbentuk kecil, berwarna putih dan bercorak. Corak telur puyuh berwarna-warni yaitu ada yang becorak hitam, bercorak coklat, dan bercorak biru. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho (1990) yang menyatakan bahwa Telur burung puyuh berbeda dengan telur-telur unggas lain, sebab telur burung puyuh mempunyai warna yang bermacam-macam yaitu bercak hitam, coklat dan biru. Menurut Syarief dan Irawati (1990) bahwa komponen penyusun telur adalah cangkang (kulit telur), membran putih telur, membran kuning telur dan kuning telur. Warna telur dipengaruhi oleh zat warna yang dikumpulkan dalam kerabang pada saat pembentukan di dalam uterus.

4.3.1. Berat Telur Puyuh
Berdasarkan hasil penimbangan telur burung puyuh, nilai rata-rata berat telur, sebesar 10,41 gram. Nilai berat telur puyuh tersebut sesuai dengan pendapat Nugroho (1990) yang menyatakan bahwa berat telur puyuh yang terberat adalah 10,8 gram pada periode pertelur 28 minggu. Beberapa berat telur burung puyuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, bobot induk dan sifat genetik. Sesuai dengan pendapat Sudaryani (1996) bahwa telur yang dihasilkan oleh induk yang masih muda biasanya lebih ringan dan ukurannya lebih kecil, dan memerlukan waktu relatif lebih lama untuk mencapai standar berat normal daripada induk yang lebih tua.

4.3.2. Indeks Telur Puyuh
Berdasarkan hasil perhitungan indeks bentuk telur puyuh, didapatkan nilai indeks telur puyuh sebesar 75,28. Besar nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat Syamsir (1993) bahwa indeks bentuk telur puyuh adalah 79,2. Telur yang dihasilkan oleh setiap induk akan mempunyai bentuk yang khas, karena bentuk telur merupakan salah satu faktor yang diturunkan dari induk kepada anaknya, bentuk telur dapat diukur dengan menggunakan jangka sorong yaitu dengan mengukur lebar dan panjang telur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) yang menyatakan bahwa indeks bentuk telur yaitu perbandingan antara diameter panjang telur dibagi dengan diameter lebar telur yang dapat dituliskan dalam bentuk persentase. Sastroamidjojo dan Seno (1991) menambahkan bahwa indeks bentuk telur diukur antara poros sampai panjang yang terbesar yaitu jarak antara kedua kutub telur yang terbesar dan garis menengah yang terkecil pada telur itu merupakan suatu tetapan.

4.3.3. Warna Telur Puyuh
Berdasarkan hasil praktikum dari 50 butir telur puyuh didapatkan warna yang dominan yaitu berwarna bercak coklat sebesar 62%. Warna telur burung puyuh bermacam-macam, yaitu coklat tua, biru, putih dan kekuning-kuningan, dengan bercak-bercak hitam, coklat dan biru. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho (1990) menyatakan bahwa pigmen dari kulit telur puyuh berasal dari oopophyrin dan billiverdin. Variasi warna telur dipengaruhi oleh genetik dari induknya masing-masing. Suprijatna et al.,
(2005) menambahkan bahwa warna telur adalah warna kerabang telur tersebut. Pigmen yang dihasilkan di uterus pada saat kerabang diproduksi bertanggung jawab pada warna telur.


4.3.4. Heritabilitas
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa nilai heritabilitas indeks bentuk telur sebesar -0,30, nilai tersebut negatif dimungkinkan karena keadaan lingkungan berbeda, metode yang digunakan tidak tepat dan kesalahan dalam mengambil contoh. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick et al. (1995) bahwa nilai heretabilitas negatif atau lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif, kesalahan dalam pengambilan contoh. Nilai heritabilitas berat telur sebesar 1,89. Nilai heritabilitas berat telur sebesar 0,47. Besar angka tersebut menunjukkan nilai heritabilitas yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurnianto (2009) yang menyatakan bahwa heritabilitas dikategorikan tinggi, bila mempunyai nilai > 0,30.

4.3.5. Korelasi
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil nilai korelasi telur puyuh sebesar -0,023. Besar nilai korelasi tersebut berarti bahwa tidak ada korelasi antara sifat-sifat pada telur puyuh yaitu indeks bentuk dan berat telur puyuh. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Noor (1996) bahwa korelasi genetik antara dua sifat dikatakan ada jika gen-gen yang mempengaruhi sifat pertama juga mempengaruhi sifat kedua. Nilai korelasi negatif tersebut masih tergolong normal, karena nilai koefisien korelasi adalah antara -1 sampai 1. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurnianto (2009) bahwa pembahasan korelasi genetik berkaitan dengan hubungan antar satu sifat lain genetik, nilai koefisien korelasi mempunyai nilai -1 sampai 1.







BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN

Telur ayam mempunyai berat dan indeks bentuk yang normal, warna coklat dominan, nilai heritabilitas rendah dan terdapat korelasi antara indeks dan berat telur ayam. Telur itik mempunyai berat dan indeks bentuk normal, heritabilitas rendah dan tidak ada korelasi antar indeks dan berat telur itik. Telur puyuh mempunyai berat dan indeks bentuk normal, warna dominan bercak coklat. Perhitungan heritabilitas dan korelasi untuk telur puyuh didapatkan hasil yang tidak normal karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti faktor genetik.

5.2. SARAN


Pengukuran panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorog harus dilakukan dengan teliti. Saat penimbangan telur sebaiknya menggunakan timbangan digital agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan waktu penimbangan lebih cepat. Sebaiknya waktu praktikum diperpanjang lagi, agar praktikan tidak tergesa-gesa dalam melakukan pengamatan dan perhitungan.



DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, K dan Prijono, N. 2007. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati. Garaha Ilmu, Yogyakarta

Hadiwiyoto, S. 1993. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging Dan Telur. Liberty, Yogyakarta.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Gramedia Wrdiasarana Indonesia, Jakarta.

Kurnianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Noor, R. R. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Nugroho, E dan I. G. K. Mayun. 1990. Budidaya Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang.

Ranto dan Maloedyn S. 2009. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agro Media, Jakarta.

Rasyaf, M. 1994. Beternak Itik. Kanisius, Yogyakarta.

Rasyaf, M. 1991. Memelihara Burung Puyuh. Kanisius, Yogyakarta.

Sastroamidjojo. 1991. Ilmu Beternak Ayam Jilid 1. NV Masa Baru, Jakarta.

Setiawan, I. 2010. Daya Tetas Telur Ayam Kampung. centralunggas.blogspot.com

Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suharno, B dan Nazaruddin. 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta

Suprijatna, E. et al. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Setiadi, P. 2000. Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Presentase Kematian Embrio. Poultry Sci. 2 (1): 25-32.

Syamsir, E. 1993. Studi Komparatif Sifat Mutu dan Fungsional Telur Puyuh dan Telur Ayam Ras. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarief, R dan Irawati. 1990. Pengetahuan Bahan Pangan untuk Industri Pertanian. PT. Medratama Sarana Prakasa, Jakarta.

Srigandono, B. 1996. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Warwick, E.J. dan J. E. Legalates. 1995. Pemuliaan Ternak. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta

Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar