Awal abad ke-19, George
Culley mengawinkan sapi lokal Belgia dengan sapi Inggris. Sapi asal Belgia ini biasa
disebut dengan Belgian Blue atau Super Cow. Super Cow merupakan produk
transgenik dan mengalami mutasi sehingga memiliki penampilan yang berbeda
dengan sapi-sapi lain. Terdapat otot-otot yang menonjol di seluruh permukaannya,
atau biasa disebut double muscling.
Daging yang dihasilkan
Super Cow pun sangat banyak. Berkurangnya stok daging dan meningkatnya harga
daging yang sangat pesat di Indonesia, memunculkan isu akan dicanangkannya impor
daging Super Cow. Padahal organisme hasil mutasi dikhawatirkan memiliki protein
yang tidak cocok dengan manusia. Lalu, layakkah Super Cow dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia?
Sejenak menoleh ke
persoalan lain, sapi Wagyu yang berasal dari Jepang tidak boleh langsung dibawa
ke Indonesia, tetapi Indonesia harus mengimpornya dari Australia. Sebenarnya
Indonesia mampu memperoleh sapi Wagyu langsung dari asalnya, tapi adakah politik
dagang yang membatasi hal tersebut sehingga harus melalui sirkulasi yang rumit,
dari Jepang, ke Australia, baru ke Indonesia?
Melihat hal lain, Sapi
Brahman Cross asli yang dipelihara di Eropa dapat melahirkan berkali-kali dan
dapat dipelihara lebih dari 5 tahun. Akan tetapi kenapa sapi Brahman Cross yang
dipelihara di Indonesia tidak dapat berproduksi seperti di daerah asalnya.
Selalu saja manajemen dari peternak Indonesia yang dijadikan alibi kegagalan
produksi. Ataukah ternak tersebut sudah mengalami modifikasi genetik (Genetically Modified Organism/GMO) dalam
hal reproduksinya?
Negara Eropa merupakan
negara yang sangat maju, GMO bisa saja dilakukan. Ternak yang berada di negara
asal mungkin saja dapat berbeda dengan ternak yang dikirimkan ke Indonesia. Pemerintah
Indonesia harus lebih bijak dalam pengambilan keputusan untuk penetapan suatu
kebijakan. Belajar dari banyaknya kejadian masa lalu mengenai komoditas ternak
hasil impor, akankah impor daging Super Cow benar akan dilakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar